Selasa, 22 Mei 2018

TERNYATA AKU BUKAN SPIRITUALIS


Kupacu sepeda motorku, jarum jam tak mau menunggu, maklum rindu
Traffic light aku lewati, lampu merah tak peduli

Begitulah kupinjam lirik dari lagunya Iwan Fals, hanya saja di depan tak ada polantas, apalagi wajahnya yang begitu puas (setelah berhari-hari tak dapat ‘makan’). Hari ini dua orang teman ku pulang, ia menelpon tadi subuh saat aku sedang khusyuk-khusyuknya berdzikir---iya, nada deringku begitu mengganggu, jadi percuma saja tetap khusyuk. Kata dua orang manusia yang memiliki nama yang hampir-hampir miripku dengan ini, ada film yang baru keluar, judulnya “Semedi”, WAW! Sontakku dalam hati, “ini film mu ” begitu lah kira-kira maksud mereka melalui pembicaraan di telpon, aku pun tak tidur subuh itu.

Tak banyak basa-basi, begitu sampai di rumah kedua temanku itu (mereka kakak-beradik, kembar), aku mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan kalau aku tak sabar, mobil dihidupkan, kami pun melesat. Sepanjang jalan aku terbayang seperti apa film ini, aku tak banyak bicara, lebih mirip seperti semedi, teman ku yang menyetir, Ali, abangnya Ale, hanya fokus menyetir sambil mendengarkan penyiar radio membawa berita, dan Ale, sibuk dengan hape nya, lucu saja, padahal kami sudah hampir setahun tak bertemu.
“Ri, gimana nih? Beli ramas dulu kita?” tanya Ali memecah hening, aku berangkat dari semedi.
“Sudah besar, masih mau jahil?” tanyaku
“Di sana, bakwan pun sebiji harganya sepuluh ribu” balas Ali
“Ya sudah, kita mampir ke rumah makan yang tak jauh dari sana saja” tiba-tiba Ale bicara, semangat jahil kamipun muncul, semangat itu sudah lama terkubur dalam hutan pencitraan dalam diri kami.

30 menit dari rumah dan kami tiba di sebuah rumah makan, namanya SEDERHANA, tapi harganya mewah, satu bungkus nasi ramas bisa sampai 25 ribu, tapi tak apa, ini masih setara dengan 2 bakwan di bioskop itu. Kami melanjutkan perjalanan, 20 menit lagi sampai kalau tak macet,
“Seru gak kira-kira filmnya?” tanyaku
“Gak tahu juga, aku baru liat tentang film-film terbaru di situs cinema Mahameru” jawab Ali sambil tetap fokus ke jalan,
“Sebenarnya aku sudah kapok nonton di sana, filmnya asu-asu semua” jawabku,
“Sudah lihat saja nanti, tebak-tebak berhadiah” jawab Ali dengan nada berharap tak kan ada lagi pertanyaan dariku, Ale tak bersuara.

Kami tiba di bioskop yang terletak di pinggir jalan itu, bioskop itu hanya berupa 5 buah ruko yang digabung, tertulis dengan besar nama bioskop itu pada spanduk selebar 5 ruko itu pula, MAHAMERU, dan dibawahnya : anda senang kami pun puas. Ramai sekali ternyata yang menonton film ini, kulihat pergelangan tangan kananku, pukul 10 pas,
“ Ayo!” tiba-tiba Ale turun tak sabaran, lupa nasi ramasnya, Ali yang mengambil,
Kami berjalan cepat masuk ke studio itu, seperti biasa, satpam berwajah sok itu membukakan pintu dengan senyumnya yang terkesan mencemooh, mentang-mentang kami hanya pakai ketebe dan training serta sendal jepit.  Kami tak memberi senyum padanya, tak pula menoleh, mata kami pada pintu terus mempercepat langkah kami,
Sesampainya di dalam, sudah gelap, dan film akan segera diputar, kami segera mencari bangku, di bioskop ini tak ada aturan harus duduk di bangku mana---di karcis hanya tertera cap lunas dan tulisan kecil : jangan lupa bayar parkir.
“Itu!” kataku sembari menunjuk kursi di bagian kiri tengah, kebetulan kosong tiga, kami pun berjalan kesana.

“Selamat datang di bioskop mahameru, kami sarankan untuk menggunakan kamera dan promosikan bioskop ini ke akun media sosial kalian”
Aku sudah muak dengan kata-kata ini, padahal bioskop mahameru selalu ramai, terdengar beberapa orang yang tertawa, pasti orang awam, kataku dalam hati.

Setelah suara itu, tulisan SEMEDI muncul tiba-tiba di layar dengan suara petir yang sahut-menyahut, bakal seru ini, pikirku. Setelah itu, filmpun dimulai, menampilkan aktor yang menurutku usianya sudah 50an, bertelanjang dada, dan tengah bersila di bawah pohon yang aku tak tahu itu pohon apa. Satu menit berlalu, dua menit, 10 menit, pria itu masih duduk, dan aku mulai gelisah, temanku hanya sibuk dengan hape mereka, karena mereka sebenarnya pun hanya ingin mentraktirku nonton, mereka sendiri tak tertarik dengan film-film yang berbau spiritual seperti ini. Kulihat sekitar, orang-orang tenang saja, aku bingung, ada apa ini sebenarnya, tapi aku mencoba menahan diri. Tigapuluh menit sudah, bapak itu masih duduk tak bergerak, aku mengambil hape, dan memotret layar itu, lalu ku upload di media sosial
“Jangan tonton film ini, nyesal seumur hidup, kembalikan uangku!” captionku dengan huruf kapital.

Tak lama banyak yang mengomentari postinganku, aku pun larut di dunia maya, tak terasa 25 menit berlalu, tiba-tiba suara bioskop mengejutkan ku,
“Terima kasih karena sudah menyediakan waktu untuk datang kemari, menonton film SEMEDI ini, semoga bermanfaat”
Dan disambut dengan tepuk tangan penonton, Ali dan Ale hanya ikut-ikut.

Di luar, aku hampir berkelahi dengan satpam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar