Selasa, 22 Mei 2018

TERNYATA AKU BUKAN SPIRITUALIS


Kupacu sepeda motorku, jarum jam tak mau menunggu, maklum rindu
Traffic light aku lewati, lampu merah tak peduli

Begitulah kupinjam lirik dari lagunya Iwan Fals, hanya saja di depan tak ada polantas, apalagi wajahnya yang begitu puas (setelah berhari-hari tak dapat ‘makan’). Hari ini dua orang teman ku pulang, ia menelpon tadi subuh saat aku sedang khusyuk-khusyuknya berdzikir---iya, nada deringku begitu mengganggu, jadi percuma saja tetap khusyuk. Kata dua orang manusia yang memiliki nama yang hampir-hampir miripku dengan ini, ada film yang baru keluar, judulnya “Semedi”, WAW! Sontakku dalam hati, “ini film mu ” begitu lah kira-kira maksud mereka melalui pembicaraan di telpon, aku pun tak tidur subuh itu.

Tak banyak basa-basi, begitu sampai di rumah kedua temanku itu (mereka kakak-beradik, kembar), aku mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan kalau aku tak sabar, mobil dihidupkan, kami pun melesat. Sepanjang jalan aku terbayang seperti apa film ini, aku tak banyak bicara, lebih mirip seperti semedi, teman ku yang menyetir, Ali, abangnya Ale, hanya fokus menyetir sambil mendengarkan penyiar radio membawa berita, dan Ale, sibuk dengan hape nya, lucu saja, padahal kami sudah hampir setahun tak bertemu.
“Ri, gimana nih? Beli ramas dulu kita?” tanya Ali memecah hening, aku berangkat dari semedi.
“Sudah besar, masih mau jahil?” tanyaku
“Di sana, bakwan pun sebiji harganya sepuluh ribu” balas Ali
“Ya sudah, kita mampir ke rumah makan yang tak jauh dari sana saja” tiba-tiba Ale bicara, semangat jahil kamipun muncul, semangat itu sudah lama terkubur dalam hutan pencitraan dalam diri kami.

30 menit dari rumah dan kami tiba di sebuah rumah makan, namanya SEDERHANA, tapi harganya mewah, satu bungkus nasi ramas bisa sampai 25 ribu, tapi tak apa, ini masih setara dengan 2 bakwan di bioskop itu. Kami melanjutkan perjalanan, 20 menit lagi sampai kalau tak macet,
“Seru gak kira-kira filmnya?” tanyaku
“Gak tahu juga, aku baru liat tentang film-film terbaru di situs cinema Mahameru” jawab Ali sambil tetap fokus ke jalan,
“Sebenarnya aku sudah kapok nonton di sana, filmnya asu-asu semua” jawabku,
“Sudah lihat saja nanti, tebak-tebak berhadiah” jawab Ali dengan nada berharap tak kan ada lagi pertanyaan dariku, Ale tak bersuara.

Kami tiba di bioskop yang terletak di pinggir jalan itu, bioskop itu hanya berupa 5 buah ruko yang digabung, tertulis dengan besar nama bioskop itu pada spanduk selebar 5 ruko itu pula, MAHAMERU, dan dibawahnya : anda senang kami pun puas. Ramai sekali ternyata yang menonton film ini, kulihat pergelangan tangan kananku, pukul 10 pas,
“ Ayo!” tiba-tiba Ale turun tak sabaran, lupa nasi ramasnya, Ali yang mengambil,
Kami berjalan cepat masuk ke studio itu, seperti biasa, satpam berwajah sok itu membukakan pintu dengan senyumnya yang terkesan mencemooh, mentang-mentang kami hanya pakai ketebe dan training serta sendal jepit.  Kami tak memberi senyum padanya, tak pula menoleh, mata kami pada pintu terus mempercepat langkah kami,
Sesampainya di dalam, sudah gelap, dan film akan segera diputar, kami segera mencari bangku, di bioskop ini tak ada aturan harus duduk di bangku mana---di karcis hanya tertera cap lunas dan tulisan kecil : jangan lupa bayar parkir.
“Itu!” kataku sembari menunjuk kursi di bagian kiri tengah, kebetulan kosong tiga, kami pun berjalan kesana.

“Selamat datang di bioskop mahameru, kami sarankan untuk menggunakan kamera dan promosikan bioskop ini ke akun media sosial kalian”
Aku sudah muak dengan kata-kata ini, padahal bioskop mahameru selalu ramai, terdengar beberapa orang yang tertawa, pasti orang awam, kataku dalam hati.

Setelah suara itu, tulisan SEMEDI muncul tiba-tiba di layar dengan suara petir yang sahut-menyahut, bakal seru ini, pikirku. Setelah itu, filmpun dimulai, menampilkan aktor yang menurutku usianya sudah 50an, bertelanjang dada, dan tengah bersila di bawah pohon yang aku tak tahu itu pohon apa. Satu menit berlalu, dua menit, 10 menit, pria itu masih duduk, dan aku mulai gelisah, temanku hanya sibuk dengan hape mereka, karena mereka sebenarnya pun hanya ingin mentraktirku nonton, mereka sendiri tak tertarik dengan film-film yang berbau spiritual seperti ini. Kulihat sekitar, orang-orang tenang saja, aku bingung, ada apa ini sebenarnya, tapi aku mencoba menahan diri. Tigapuluh menit sudah, bapak itu masih duduk tak bergerak, aku mengambil hape, dan memotret layar itu, lalu ku upload di media sosial
“Jangan tonton film ini, nyesal seumur hidup, kembalikan uangku!” captionku dengan huruf kapital.

Tak lama banyak yang mengomentari postinganku, aku pun larut di dunia maya, tak terasa 25 menit berlalu, tiba-tiba suara bioskop mengejutkan ku,
“Terima kasih karena sudah menyediakan waktu untuk datang kemari, menonton film SEMEDI ini, semoga bermanfaat”
Dan disambut dengan tepuk tangan penonton, Ali dan Ale hanya ikut-ikut.

Di luar, aku hampir berkelahi dengan satpam.

AMARAH FANA, HASRAT KITA ABADI




   Sudah besar, masih minta susu, katamu. Aku hanya senyum sambil mengisap dalam-dalam asap tembakau dari cerutu giokku, ia masih marah, marah sekali karena selama 2 tahun aku tak pernah memberi kabar, dan malam ini kuketuk rumahnya, belum pindah, catnya masih sama, biasanya yang membuka pintu adik laki-lakinya, tapi kini ia sendiri dan ia kaget ; seperti melihat hantu yang sering kuceritakan sebelum tidur, lalu berpura-pura buang muka, dasar betina gumamku. Kuajak ia berjalan menyusuri pinggiran kota ini, katamu, di sini, diantara kios-kios yang menjual kebutuhan harian dan warung makan, kita pernah membuat cerita, benar, bulan pernah jadi saksi, tapi kurasa bulan sudah lupa, bukankah sekarang semua sudah berubah, sayang? Bahkan rambutmu pun sudah beruban beberapa helai, kataku, ia hanya tertawa ; kami tertawa, ia sudah tak marah lagi, kupikir. Sudah lama sekali rasanya aku merantau, dan pulang hanya membawa selusin ilmu tentang bertahan hidup di tengah krisis ekonomi.

   Kami masih berjalan tanpa berbicara, dahulu, lampu-lampu jalan yang menerangi pinggiran kota ini hanya ada beberapa saja, tapi kini sudah banyak, berjalan di sini rasanya seperti jalan menuju sebuah pentas yang memang diperuntukkan kepada kami berdua.
Kami belok pada sebuah gang, “Kau masih ingat tempat ini?” tanyanya  sambil tertawa penuh maksud. Tentu, meski sudah lama aku tak kembali ke Jakarta, tapi aku ingat betul gang ini, sudah dicat, sebelumnya dinding-dinding itu penuh coret-coret piloks oleh anak-anak  yang mungkin sudah jadi mahasiswa sekarang. Dari sini, bulan hanya kelihatan sedikit, sedikit sekali, pohon-pohon di luar tembok gang tinggi menjulang, tapi aku masih bisa melihatnya mengintip kami, kurasa ia masih kenal denganku. Tembakau ku sudah habis , kusimpan cerutu di saku kemeja, lalu ku pegang pundak kanannya,
“Sudah besar, masih minta susu?” ia selipkan senyum setelah tanda tanya itu.

Minggu, 11 Februari 2018

Kedai Lontong Bude Mijah II

Source : google
Aku segera kembali ke kamar secepat mungkin, takut kalau lelaki hantu itu melihatku mengintip, sampai dikamar aku kunci pintu dengan cepat, nafasku memburu, jam dinding menunjukkan pukul setengah dua pagi. Aku panik, dan tak bisa tidur, lampu kamar sengaja kuhidupkan, ada beberapa buku menganggur yang belum selesai kubaca di sisi kasur, aku pun memutar musik, setidaknya agar aku bisa lebih tenang, lalu tertarik untuk membuka salah satu buku, cukup tebal (sekitar 500 halaman) judulnya Mistisme Timur dan Sains Barat, sampulnya hijau gelap dan hanya ada gambar sebuah atom dalam ukuran yang besar.

"Kaitan antara mistisme di Timur dengan Sains di Barat dapat dijelaskan dengan ilmu Fisika Kuantum, jika setiap orang menyadari bahwa inti dari semua materi di dunia ini adalah sama, atom, oleh karenanya..."

Dan aku pun pergi ke alam mimpi, buku masih terbuka menutup dadaku.


Pagi

Matahari menyapaku dengan cahaya yang cukup terang, aku terkejut ketika melihat jam dinding menunjukkan pukul 10 lewat 19 ,aku jarang bangun kesiangan, perutku terus-menerus protes meminta jatahnya, akhirnya tiba saat yang kunantikan, seperti biasa, aku tidak mandi, dan langsung berangkat ke kedai lontong Bude Mijah dengan pakaian yang kukenakan saat itu----aku juga gak cuci muka.

Setibanya disana, perkarangan sudah diisi puluhan motor dan ada 2 mobil jazz dan inova hitam. Ada tempat yang kosong, meja dan kursi panjang, muat untuk 8 orang, seperti biasa aku memesan lontong yang banyak mi dan sedikit lontongnya, kuah campur antara nangka dan kacang. Sambil menunggu, aku menatap ke arah pagar (kebetulan posisi ku pas menghadap ke pagar), serasa ada yang pernah kulakukan disini, begitu kuat, aku pikir ada deja vu, oh iya! langsung aku teringat kejadian dinihari tadi,

"Bukannya ini posisi si pria hantu tadi malam?" Aku memperhatikan meja dan kursi ku, pagar dan sekeliling dengan cepat, muncul lagi rasa penasaranku,

Lontongku datang, dan kuhilangkan dulu pikiran tadi, kini saatnya fokus memuaskan dahagaku akan lontong. Aku makan dengan sangat cepat, karena lapar sudah menggerogoti tubuh dan jiwaku (kalau saja aku tak dapat lontong pagi ini aku bisa gila) beberapa orang melihatku ngeri, karena aku makan begitu kencang, seperti binatang.

Ketika lontong sudah habis, kupilih untuk duduk sejenak, sembari menurunkan makanan, aku pun juga kekenyangan, tak mampu bergerak banyak, aku bukan perokok, jadi aku hanya melihat-lihat ke arah pagar, melihat motor dan mobil melintas, mungkin saja aku terlihat seperti sedang ada masalah. Pikiranku kembali ke hantu tadi, aku berniat menanyakannya kepada pegawai disini nanti jika aku pergi ke kasir, apakah ada yang kenal, mungkin saja dia memang orang yang menginap disini, kan? Meski lebih banyak tak mungkin nya.

10 menit berlalu, aku merogoh saku celana, dan meninggalkan mejaku, berjalan ke arah kasir yang dijaga oleh seorang cewek seumuranku, memakai kerudung hitam dan kemeja hitam juga, rok nya pun hitam dan tidak ketat (tak ada yang bisa dilihat dari pegawai-pegawai disini, katanya tak boleh pakai rok yang ketat), jam casio di tangan kiri, wajahnya bulat, kulitnya putih bersih, matanya agak sipit dan alisnya tipis, ia lumayan, tapi aku tak tertarik.

Aku hampir tiap hari sarapan disini, jadi kasir sudah tau apa yang kumakan dan berapa yang harus kubayar, setelah kasir memberiku uang kembalian, aku sempatkan bertanya dengan sebisa mungkin untuk tidak terdengar mencurigakan, apakah ada disini orang yang menginap, tidak, jawab kasir itu singkat.
"Apa ada pernah seorang pegawai yang usianya kira-kira tigapuluhan, posturnya sedikit tinggi dan badannya ideal, matanya bulat dan alisnya agak tebal disini, kak?" Tanyaku lagi, aku merasa seperti jenius yang bisa menghafal segala detail fisik dari seseorang,

Kakak kasir itu tiba-tiba berubah wajahnya, terkejut, dan menurutku ia panik, matanya terpaku padaku, tapi ia terlihat sedang mengingat-ngingat sesuatu,

"Emang kenapa dia, b-bang?" Tanya kasir itu balik, nadanya cukup jelas kalau ia sedikit takut,

"Aku melihatnya jam-jam 1 pagi, saat aku lewat di depan kedai ini, yaa biasalah habis pulang dari rumah teman" kataku, tak mungkin kubilang aku mengunjungi kedai ini dinihari tadi.

Wajah kasir menjadi dua kali lipat lebih terkejut dari yang tadi, dan ketakutan sangat terlihat di wajahnya, ada seperti ingatan yang mengerikan terpancar dari matanya, tiba-tiba datang seorang pegawai ke arah kami memecah ketegangan, namanya kak Putri (usianya lebih tua 2 tahun dariku, ia manis dan aku suka, jadi aku pernah nanya siapa namanya, biar bisa aku stalking di instagram, sekarang kami udah saling follow), mungkin ia melihat kami mengobrol agak lama,

"Ada apa, bang?" Tanyanya,

"Kata abang ini dia melihat..Sukram" yang menjawab malah kakak kasir itu dengan sangat cepat bahkan aku sendiri belum berpikir akan menjawab apa,

"SUKRAM?!" Kak Putri tak sengaja bersuara keras, lalu ia sadar dan menutup mulutnya sambil melihat ke sekeliling,

"Siapa Sukram?" Aku berusaha untuk tampak tenang, padahal penasaran setengah mampus,

Tiba-tiba terjadi hening sesaat, hening yang canggung, karena di kedai ini dari dulu aku jarang sekali bertanya apalagi berbicara, sekarang tiba-tiba berbicara serius, rasanya canggung saja,

"Sukram itu.." kata kakak kasir setelah menghela nafas yang panjang,

"Dia baru beberapa hari, ini, eh, mungkin 4 hari yang lalu meninggal" lanjut nya dengan ekspresi tenang yang dipaksakan,

Ada pegawai lain yang memanggil kak Putri, dan ia memberi kode kepada kasir bahwa ia mempercayakan cerita itu kepada nya, sedangkan ia memberi kode kepadaku bahwa ia harus kembali bekerja,

"Jadi yang kulihat itu, hantu?"

"Saya tak percaya hantu, bang, tapi memang tak ada orang yang menginap di kedai ini"

"Dia meninggal, maaf sebelumnya, karena apa?"

"Dia bunuh diri"

Jantungku berdetak lebih cepat, tiba-tiba teringat lagi olehku kejadian dinihari tadi ketika ia mengajak ku untuk makan lontong bersama, persis di kursi yang kududuki tadi, kata bunuh diri membungkus ingatan itu menjadi lebih ngeri, apalagi ketika ia berada di depan rumahku, entah bagaimana ia bisa mengejarku.

"Karena apa?" Lanjutku penasaran,

"Hmm" kasir itu tampak ragu, seperti ada yang ia sembunyikan, "ia ada masalah, tak taulah apa"

Aku tak bertanya lagi, meski masih penasaran, aku lebih memilih untuk menjaga etika, barangkali itu masalah personal atau masalah privasi toko ini, aku pun berangkat meninggalkan kedai,

"Bang!" Kakak kasir memanggilku saat aku baru tiga langkah menjauh,

"Sukram itu..." ia berhenti sejenak, seolah mengumpulkan keyakinan agar percaya padaku, "ia kesepian, tak tau kenapa, setiap bersama kami dia selalu menyalahkan kami tak bisa membuatnya senang"

Aku balik lagi, mendekat ke kasir,

"Dan dia bekerja baru beberapa minggu disini, mungkin 2 atau 3 minggu, dia selalu menyalahkan kami, hingga kami tak tahan lagi, jadi setiap ia mengajak ngobrol kami selalu mengabaikannya, dan hari itu, tepat setelah selesai kerja, jam 8 malam, kami mendengar suara teriakan sekali dari arah dapur, Sukram menusuk dirinya tepat di leher, dan ketika kami lari ke arahnya ia sudah menggelepar-gelepar, duh ngeri" ia menutup mata kuat-kuat dan menggeleng sekali,

"Lantai bersimbah darah dan kami berteriak histeris, berlarian kesana-kemari" ia berhenti, aku tau ia tak kuat lagi cerita,

"Ohh begitu, terima kasih kak"

Penasaranku sudah terjawab, tapi aku pun jadi bingung harus menjawab apa, rasa takutku berubah menjadi iba kepada Sukram, aku merasa ada yang harus kulakukan padanya, seperti panggilan hati, dan sifatnya ingin menolong,

"Oke kak, makasih udah mau cerita" aku meninggalkan warung tanpa peduli apa respon kakak kasir itu.

Sampai dirumah, aku hanya duduk-duduk di kursi teras, hari ini Sabtu, aku tidak ada jadwal kuliah, jam-jam kosong terbentang di depanku hari ini, tanpa aku tahu apa yang harus kulakukan untuk mengisinya.

Aku hanya menunggu datang dinihari.



Jumat, 09 Februari 2018

Kedai Lontong Bude Mijah I



Perutku lapar, namun jam sudah tenggelam larut dalam malam, aku ingin sepiring lontong, jam dinding kamarku menunjukkan tepat pukul 1 pagi, dan kedengarannya sangat sinting jika aku pergi ke kedai lontong jam segini. Tapi aku tak kuat lagi,  aku bangkit dari kasur dan segera memakai kaos andalanku (kaos hitam dengan gambar singa yang lagi menguap), dan membiarkan celana pendekku, lalu dengan sangat hati-hati membuka pintu depan agar orang tuaku tak tahu, akupun berhasil keluar tanpa suara, dan tentu kunci harus kubawa, disini juga rawan maling.

Jalanan kosong, tak ada orang yang ronda, berjalan disini pada dinihari sama seperti berjalan di kota mati, sepanjang jalan, mataku hanya memandang hamparan rumah-rumah dan warung yang tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Kedai lontong itu berjarak sekitar 700 meter dari rumahku, itu artinya butuh waktu sekitar 4 menit untuk tiba disana dengan jalan kaki. Sunyi benar-benar merupakan kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang kulihat, bahkan ketika kulihat langit bulanpun berada dibalik awan, seolah enggan menerangi langkahku, manusia pun pasti begitu, siapa yang mau menemani remaja 20an yang ingin membeli lontong pada dinihari? Kelakuanku sudah lebih dari orang gila, tapi perutku lapar, tak bisa tidur, karena hanya lontong yang terlintas terus-menerus di kepala dan hatiku, hingga lontongpun memaksaku agar mendatangi ia dirumahnya.

2 menit berlalu, aku sudah dekat, dari kejauhan sudah tampak perkarangan yang cukup luas, pagarnya tertutup, kedai lontong itu seperti rumah kecil namun perkarangannya cukup luas untuk menampung puluhan motor dan beberapa mobil, disekeliling perkarangan berdiri tembok beton, dan sedikit sisanya adalah pagar dimana kendaraan bisa masuk  ke perkarangan.

Aku sampai di depan kedai, dari balik pagar, aku mencoba menerawang ke dalam meski gelap dan tak ada lampu, sepertinya orang-orang yang bekerja di kedai itu tidak menginap di kedai, yang menjaga pun sepertinya juga tidak ada. Entah kenapa aku terus saja melihat kedalam sana, posisi kursi dan meja-meja nya sama seperti saat kedai ini buka, tapi kosong dan yang tergambar dipikiran ku adalah suasana saat sarapan pagi. 3 menit berlalu dan aku masih menatap kedalam kedai, tak jelas kenapa, namun hasrat ku untuk makan lontong sudah banyak berkurang, aku menerka sebentar lagi aku akan kembali pulang. Aku lihat hp dan jam menunjukkan pukul 1 : 22, angin dingin menerpa kulitku, sial, aku lupa memakai jaket, dan tentu saja betisku yang telanjang protes kedinginan.

Aku memalingkan tubuh dari kedai dan bersiap melangkahkan kaki untuk kembali kerumah, tetapi ada yang ganjil, aku tak tahu, tapi aku bisa merasakan ada seseorang yang mengintipku tak jauh dari punggung : aku bisa mendengar ia bernafas. Kukumpulkan keberanian untuk memutar badan, aku sudah bersiap-siap lari, jalanan terasa semakin kosong saja dan tampaknya tak ada bantuan yg bisa datang kalau saja terjadi apa-apa denganku. Aku menghitung sembarang, mengulur sedikit waktu untuk mengumpulkan keberanian, tapi aku putuskan lihat saja! Lihat saja lalu lari. Ketika aku membalikkan badan, kembali menatap ke kedai itu, aku terkejut bukan kepalang, tapi disisi lain aku juga terpaku tak tahu kenapa, ketakutan sekali barangkali. Ada seorang laki-laki yang mengenakan kaos putih, tampak jelas dikegelapan kalau ia sedang duduk di kursi yang tadinya kosong dengan sepiring lontong, ia memberi aba-aba kepadaku dengan tangan kanannya yg memegang sendok 'sini-sini, ayo makan'.

Aku takut, meski tadinya aku sempat berpikir kalau itu adalah orang yang tidur di kedai itu, dan memang sengaja makan saat dinihari karena tak ada waktu : karena lontong ini buka sampai jam 8 malam. Pria itu terus-terusan memanggilku, aku tak bisa melihat jelas wajahnya, tapi kulitnya coklat hampir ke arah putih, dan mengenakan topi biru seperti jeans. Entah kenapa aku tak bisa memalingkan wajah darinya, meski aku masih sadar, dan takut sekali, pria itu masih mengajakku kesana, wajahnya kelihatan tertawa, aku terlepas dari fokus ke arah wajahnya, mataku menjelajah kebawah meja, karena aku pecinta sepatu, aku sering auto-fokus ke sepatu setiap orang, dan dibawah meja aku tak menemui sepatu, pria ini tak memakai sepatu? aku fokuskan lagi, pria ini kok sepertinya tak memakai celana? Aku agak menunduk sedikit, penasaran, dan ketika aku menunduk, si pria yang duduk tadi hilang, aku kembali berdiri dan tersungkur kebelakang, kaget bukan kepalang si pria sudah berdiri di balik pagar dengan

Dengan jarak yang sangat dekat denganku (mungkin 70cm), dari posisi setengah tidur dan setengah duduk aku melihat wajahnya, ia tampak marah, wajahnya seperti orang-orang usia 35an, aku melihat ke ujung jalan disebelah kananku, kosong, dan dalam hitungan detik aku akan berlari. Ketika aku bergegas bangkit, pria itu menggeram dan berteriak "jangan lari! Ayo makan denganku" aku tak menghiraukannya, aku sudah 100 meter menjauhi kedai itu, dan sekali aku memutar kepala ku kebelakanh sambil tetap berlari, pria itu hanya menyandarkan kepala nya di pagar besi, wajahnya menghadap tanah : seperti orang yang sangat putus asa dan memiliki rencana untuk bunuh diri.

Aku sampai di depan rumah dengan nafas yang memburu, aku melihat jalanan, dan jalanan pun kembali membalas dengan jawaban yang sama : kosong, bisu, sunyi dan sepi. Ketika ingin membuka pintu, aku mendengar (atau perasaanku saja) langkah kaki seseorang, suaranya seperti sendal yang diseret-seret pada aspal, siapa itu? Disini tak ada orang ronda, dan memang, jam segini takkan ada lagi orang yang lewat apalagi jalan kaki, kecuali aku. Suara itu benar-benar nyata, dan semakin mendekat ke arahku, aku panik, membuka pintu pun terasa sulit dan lama, tapi akhirnya berhasil juga terbuka, dan aku tak sengaja menutup pintu dengan keras, untung saja orang tuaku tak bangun. Aku bergegas mengunci pintu dan bergerak ke jendela, mengintip siapa tadi yang ada di luar itu, alangkah terkejutnya aku, hampir saja berteriak jika aku terbawa emosi, dia adalah orang yang kujumpai di warung lontong tadi!



Minggu, 04 Februari 2018

DAHULU

Di atas meja warung Rosidi, sebotol tuak yang tinggal setengah, bersama empat gelas kosong sedang mengadakan pembicaraan yang hangat, purnama merekam dengan cahayanya, dimana malam menjadi latar yang baik, untuk sebuah 'tragedi',

Si botol membuka pembicaraan,

"Kita ini selalu disalahkan!" tegasnya,

Gelas-gelas diam, tak menanggapi, hanya menatap dengan arti pada si botol,

"Kenapa harus kita yang disalahkan?" Lanjut botol,

Gelas-gelas masih diam, tak lama sebuah diantara mereka menanggapi,

"Kau lah yang menyediakan, kami juga jadi korban, darimu dituang air dosa itu, lalu dari kami diminum, badan kami penuh dosa!"

Si botol mengayun-ayun badannya ke depan dan belakang, tak jelas kenapa, namun tampaknya ia mulai marah dan gelisah,

"Aku ini sebagai penyedia, mereka sendiri yang memilih untuk minum, lalu kenapa harus aku yang disalahkan?" Nada botol meninggi, lalu diam, memalingkan tubuh kaca, ia melompat-lompat menuju pinggiran meja, dan terjun bebas,

PRAKKKK

Gelas-gelas hanya diam kembali, bau tuak memenuhi udara, purnama diam-diam bergerak ke balik awan.

Aroma tuak itu, di mata para gelas warna nya kuning cerah, merupakan asap yang bergerak meliuk-liuk seperti ular di udara, ia berbisik kepada para gelas,

"Jika tak bisa menahan nafsu, jangan kau salahkan tuak yang menggoda"

Lalu ia terbang ke arah purnama.



Kamis, 21 Desember 2017

DIET BERAKHIR JERUJI

  DIET BERAKHIR JERUJI

   Adalah Joe, yang hanya bisa mengejar tukang bakso dengan pandangannya yang pilu, Joe merupakan mahasiswa yang bisa dikatakan maniak weight loss, yang mengatur diet sehat dan diet ketat---macam betul. Hari-hari ia isi dengan konsumsi makanan penuh gizi rendah kalori, plus dengan hati yang tidak menikmati. Joe tidak menyadari bahwa ia tidak terlahir kurus, kedua orang tuanya gemuk, hampir seluruh sanak nya gemuk, kecuali satu orang, yaitu Alex, si buncit yang humoris.
  
   Namun Joe percaya dengan motivasi dari seminar bisnis multilevel yang pernah digelutinya 5 bulan lalu, "tidak ada yang tak mungkin", "jika kalian ingin mencapai apa yang kalian inginkan", dan "sukses usia muda", tentu saja sukses bagi Joe adalah sukses menurunkan berat badan, apa yang membuat Joe tidak pernah berhasil adalah nafsu makan yang sama besar dengan badan, memang ia memakan sayur, dengan porsi yang sangat banyak.
  
   Suatu hari ia membaca sebuah artikel "Tertawa dapat membakar lemak" dan dengan sangat serius menanggapi, Joe sama dengan kedua orang tuanya, pemurung dengan muka berlemak---sulit dibuat tertawa. Namun hari dimana ia membaca artikel itu adalah hari dimana ia seolah terlahir kembali. Joe menjadi pribadi yang gampang sekali tertawa, bahkan saat seseorang berbicara serius (pada saat itu Joe menerima caci maki), sikap Joe yang berubah tentu mengundang berbagai penafsiran dari masyarakat, dan didominasi oleh pandangan bahwa ia telah gila.
  
   Sedikit namun sakit, Joe perlahan-lahan diabaikan, teman-temannya sering memandang paham ke arahnya ketika ia mencoba berbicara hal yang lucu, hanya merespon berupa tersenyum penuh simpati, keluarga Joe pun perlahan mulai mengabaikannya, dan ketika Joe menimbang badannya ,mendapati beratnya hanya berkurang sedikit, beberapa ons, ia meningkatkan intensitas 'latihannya'.
  
   Hingga pada suatu pagi, pihak keluarga sudah tidak kuat lagi dan melaporkan Joe ke rumah sakit Jiwa di pusat kota, dan sorenya datanglah sebuah avanza hitam ke rumah Joe, membawa lima orang dokter jiwa (orang tua Joe sudah mengatakan sebelumnya kalau Joe bertubuh besar dan suka melawan) dan menyeret paksa Joe ke dalam mobil, bahkan Joe tetap tertawa karena salah satu motivasi nya dalam latihan tertawa ini adalah "memandang positif dari segala sesuatu", singkat cerita, Joe harus menginap sampai waktu yang belum ditentukan di balik jeruji besi yang dicat putih, bersama penghuni-penghuni lain yang melakukan 'latihan' yang sama.

Selasa, 28 Februari 2017

Apa itu teman?

Dalam buku Socrates Café  karangan Christopher Phillip, ada pembahasan di bab III tentang teman, dan jika anda mau membaca, di buku itu sepertinya tidak ada penjelasan pasti, melainkan opini masing-masing dari partisipan Socrates Café yang disatukan dalam sebuah dialog, pada kesempatan kali ini saya juga ingin menjawab pertanyaan "Apa itu teman?"

Jawaban dari pertanyaan diatas menurut saya tidak perlu panjang-lebar, karena untuk menjawabnya kita harus tahu teman pada dasarnya, pada dasarnya teman adalah sesuatu yang menemani, saya katakan sesuatu karena teman tidak selalu seseorang---tidak harus manusia, bahkan benda mati juga bisa disebut sebagai teman. Dan membahas tentang apa itu teman jangan membahas tentang "teman adalah seseorang yang saling mengerti bla bla bla atau teman adalah orang yang selalu ada bla bla bla", itu bukan "apa itu teman", tetapi itu adalah "apa yang menjadikan seseorang teman yang baik", karena teman pada sejatinya adalah sesuatu yang me-teman-i kita, tidak selalu yang mengisi "butuh teman" dalam diri kita---kita tidak harus butuh teman untuk mendapat teman. Teman juga terlepas dari sifat dari teman itu, karen teman juga merupakan definisi wujud,  tidak peduli apakah sesuatu yang kita labeli sebagai teman itu baik ataupun buruk, teman yang buruk bukanlah teman karena tidak menghasilkan sesuatu yang positif? Teman yang buruk bisa, teman yang buruk akan membuat kita belajar darinya dan menambah pengalaman kita.

Jadi apakah teman itu? Apakah seseorang/sesuatu yang baik? Sesuatu yang bermanfaat? Sesuatu yang mengerti kita? Sesuatu yang ada untuk mengisi "butuh teman" dalam diri kita?
Bukan. Teman adalah sesuatu yang bersama kita, terlepas dari kualitas, sifat, manfaat nya adalah di luar pembahasan.