Kupacu sepeda motorku, jarum jam tak mau menunggu, maklum rindu
Traffic light aku lewati, lampu merah tak peduli
Begitulah kupinjam lirik dari
lagunya Iwan Fals, hanya saja di depan tak ada polantas, apalagi wajahnya yang
begitu puas (setelah berhari-hari tak dapat ‘makan’). Hari ini dua orang teman
ku pulang, ia menelpon tadi subuh saat aku sedang khusyuk-khusyuknya
berdzikir---iya, nada deringku begitu mengganggu, jadi percuma saja tetap
khusyuk. Kata dua orang manusia yang memiliki nama yang hampir-hampir miripku
dengan ini, ada film yang baru keluar, judulnya “Semedi”, WAW! Sontakku dalam
hati, “ini film mu ” begitu lah kira-kira maksud mereka melalui pembicaraan di
telpon, aku pun tak tidur subuh itu.
Tak banyak basa-basi, begitu
sampai di rumah kedua temanku itu (mereka kakak-beradik, kembar), aku
mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan kalau aku tak sabar, mobil dihidupkan,
kami pun melesat. Sepanjang jalan aku terbayang seperti apa film ini, aku tak
banyak bicara, lebih mirip seperti semedi, teman ku yang menyetir, Ali,
abangnya Ale, hanya fokus menyetir sambil mendengarkan penyiar radio membawa
berita, dan Ale, sibuk dengan hape nya, lucu saja, padahal kami sudah hampir
setahun tak bertemu.
“Ri, gimana nih? Beli ramas dulu
kita?” tanya Ali memecah hening, aku berangkat dari semedi.
“Sudah besar, masih mau jahil?”
tanyaku
“Di sana, bakwan pun sebiji
harganya sepuluh ribu” balas Ali
“Ya sudah, kita mampir ke rumah
makan yang tak jauh dari sana saja” tiba-tiba Ale bicara, semangat jahil
kamipun muncul, semangat itu sudah lama terkubur dalam hutan pencitraan dalam
diri kami.
30 menit dari rumah dan kami
tiba di sebuah rumah makan, namanya SEDERHANA, tapi harganya mewah, satu
bungkus nasi ramas bisa sampai 25 ribu, tapi tak apa, ini masih setara dengan 2
bakwan di bioskop itu. Kami melanjutkan perjalanan, 20 menit lagi sampai kalau
tak macet,
“Seru gak kira-kira filmnya?”
tanyaku
“Gak tahu juga, aku baru liat
tentang film-film terbaru di situs cinema Mahameru” jawab Ali sambil tetap
fokus ke jalan,
“Sebenarnya aku sudah kapok
nonton di sana, filmnya asu-asu semua” jawabku,
“Sudah lihat saja nanti,
tebak-tebak berhadiah” jawab Ali dengan nada berharap tak kan ada lagi
pertanyaan dariku, Ale tak bersuara.
Kami tiba di bioskop yang
terletak di pinggir jalan itu, bioskop itu hanya berupa 5 buah ruko yang
digabung, tertulis dengan besar nama bioskop itu pada spanduk selebar 5 ruko
itu pula, MAHAMERU, dan dibawahnya : anda senang kami pun puas. Ramai sekali
ternyata yang menonton film ini, kulihat pergelangan tangan kananku, pukul 10
pas,
“ Ayo!” tiba-tiba Ale turun tak
sabaran, lupa nasi ramasnya, Ali yang mengambil,
Kami berjalan cepat masuk ke
studio itu, seperti biasa, satpam berwajah sok itu membukakan pintu dengan
senyumnya yang terkesan mencemooh, mentang-mentang kami hanya pakai ketebe dan
training serta sendal jepit. Kami tak
memberi senyum padanya, tak pula menoleh, mata kami pada pintu terus
mempercepat langkah kami,
Sesampainya di dalam, sudah
gelap, dan film akan segera diputar, kami segera mencari bangku, di bioskop ini
tak ada aturan harus duduk di bangku mana---di karcis hanya tertera cap lunas
dan tulisan kecil : jangan lupa bayar parkir.
“Itu!” kataku sembari menunjuk
kursi di bagian kiri tengah, kebetulan kosong tiga, kami pun berjalan kesana.
“Selamat datang di bioskop
mahameru, kami sarankan untuk menggunakan kamera dan promosikan bioskop ini ke
akun media sosial kalian”
Aku sudah muak dengan kata-kata
ini, padahal bioskop mahameru selalu ramai, terdengar beberapa orang yang
tertawa, pasti orang awam, kataku dalam hati.
Setelah suara itu, tulisan
SEMEDI muncul tiba-tiba di layar dengan suara petir yang sahut-menyahut, bakal
seru ini, pikirku. Setelah itu, filmpun dimulai, menampilkan aktor yang
menurutku usianya sudah 50an, bertelanjang dada, dan tengah bersila di bawah
pohon yang aku tak tahu itu pohon apa. Satu menit berlalu, dua menit, 10 menit,
pria itu masih duduk, dan aku mulai gelisah, temanku hanya sibuk dengan hape
mereka, karena mereka sebenarnya pun hanya ingin mentraktirku nonton, mereka
sendiri tak tertarik dengan film-film yang berbau spiritual seperti ini.
Kulihat sekitar, orang-orang tenang saja, aku bingung, ada apa ini sebenarnya,
tapi aku mencoba menahan diri. Tigapuluh menit sudah, bapak itu masih duduk tak
bergerak, aku mengambil hape, dan memotret layar itu, lalu ku upload di media
sosial
“Jangan tonton film ini, nyesal
seumur hidup, kembalikan uangku!” captionku dengan huruf kapital.
Tak lama banyak yang
mengomentari postinganku, aku pun larut di dunia maya, tak terasa 25 menit
berlalu, tiba-tiba suara bioskop mengejutkan ku,
“Terima kasih karena sudah
menyediakan waktu untuk datang kemari, menonton film SEMEDI ini, semoga
bermanfaat”
Dan disambut dengan tepuk tangan
penonton, Ali dan Ale hanya ikut-ikut.
Di luar, aku hampir berkelahi
dengan satpam.