Minggu, 11 Februari 2018

Kedai Lontong Bude Mijah II

Source : google
Aku segera kembali ke kamar secepat mungkin, takut kalau lelaki hantu itu melihatku mengintip, sampai dikamar aku kunci pintu dengan cepat, nafasku memburu, jam dinding menunjukkan pukul setengah dua pagi. Aku panik, dan tak bisa tidur, lampu kamar sengaja kuhidupkan, ada beberapa buku menganggur yang belum selesai kubaca di sisi kasur, aku pun memutar musik, setidaknya agar aku bisa lebih tenang, lalu tertarik untuk membuka salah satu buku, cukup tebal (sekitar 500 halaman) judulnya Mistisme Timur dan Sains Barat, sampulnya hijau gelap dan hanya ada gambar sebuah atom dalam ukuran yang besar.

"Kaitan antara mistisme di Timur dengan Sains di Barat dapat dijelaskan dengan ilmu Fisika Kuantum, jika setiap orang menyadari bahwa inti dari semua materi di dunia ini adalah sama, atom, oleh karenanya..."

Dan aku pun pergi ke alam mimpi, buku masih terbuka menutup dadaku.


Pagi

Matahari menyapaku dengan cahaya yang cukup terang, aku terkejut ketika melihat jam dinding menunjukkan pukul 10 lewat 19 ,aku jarang bangun kesiangan, perutku terus-menerus protes meminta jatahnya, akhirnya tiba saat yang kunantikan, seperti biasa, aku tidak mandi, dan langsung berangkat ke kedai lontong Bude Mijah dengan pakaian yang kukenakan saat itu----aku juga gak cuci muka.

Setibanya disana, perkarangan sudah diisi puluhan motor dan ada 2 mobil jazz dan inova hitam. Ada tempat yang kosong, meja dan kursi panjang, muat untuk 8 orang, seperti biasa aku memesan lontong yang banyak mi dan sedikit lontongnya, kuah campur antara nangka dan kacang. Sambil menunggu, aku menatap ke arah pagar (kebetulan posisi ku pas menghadap ke pagar), serasa ada yang pernah kulakukan disini, begitu kuat, aku pikir ada deja vu, oh iya! langsung aku teringat kejadian dinihari tadi,

"Bukannya ini posisi si pria hantu tadi malam?" Aku memperhatikan meja dan kursi ku, pagar dan sekeliling dengan cepat, muncul lagi rasa penasaranku,

Lontongku datang, dan kuhilangkan dulu pikiran tadi, kini saatnya fokus memuaskan dahagaku akan lontong. Aku makan dengan sangat cepat, karena lapar sudah menggerogoti tubuh dan jiwaku (kalau saja aku tak dapat lontong pagi ini aku bisa gila) beberapa orang melihatku ngeri, karena aku makan begitu kencang, seperti binatang.

Ketika lontong sudah habis, kupilih untuk duduk sejenak, sembari menurunkan makanan, aku pun juga kekenyangan, tak mampu bergerak banyak, aku bukan perokok, jadi aku hanya melihat-lihat ke arah pagar, melihat motor dan mobil melintas, mungkin saja aku terlihat seperti sedang ada masalah. Pikiranku kembali ke hantu tadi, aku berniat menanyakannya kepada pegawai disini nanti jika aku pergi ke kasir, apakah ada yang kenal, mungkin saja dia memang orang yang menginap disini, kan? Meski lebih banyak tak mungkin nya.

10 menit berlalu, aku merogoh saku celana, dan meninggalkan mejaku, berjalan ke arah kasir yang dijaga oleh seorang cewek seumuranku, memakai kerudung hitam dan kemeja hitam juga, rok nya pun hitam dan tidak ketat (tak ada yang bisa dilihat dari pegawai-pegawai disini, katanya tak boleh pakai rok yang ketat), jam casio di tangan kiri, wajahnya bulat, kulitnya putih bersih, matanya agak sipit dan alisnya tipis, ia lumayan, tapi aku tak tertarik.

Aku hampir tiap hari sarapan disini, jadi kasir sudah tau apa yang kumakan dan berapa yang harus kubayar, setelah kasir memberiku uang kembalian, aku sempatkan bertanya dengan sebisa mungkin untuk tidak terdengar mencurigakan, apakah ada disini orang yang menginap, tidak, jawab kasir itu singkat.
"Apa ada pernah seorang pegawai yang usianya kira-kira tigapuluhan, posturnya sedikit tinggi dan badannya ideal, matanya bulat dan alisnya agak tebal disini, kak?" Tanyaku lagi, aku merasa seperti jenius yang bisa menghafal segala detail fisik dari seseorang,

Kakak kasir itu tiba-tiba berubah wajahnya, terkejut, dan menurutku ia panik, matanya terpaku padaku, tapi ia terlihat sedang mengingat-ngingat sesuatu,

"Emang kenapa dia, b-bang?" Tanya kasir itu balik, nadanya cukup jelas kalau ia sedikit takut,

"Aku melihatnya jam-jam 1 pagi, saat aku lewat di depan kedai ini, yaa biasalah habis pulang dari rumah teman" kataku, tak mungkin kubilang aku mengunjungi kedai ini dinihari tadi.

Wajah kasir menjadi dua kali lipat lebih terkejut dari yang tadi, dan ketakutan sangat terlihat di wajahnya, ada seperti ingatan yang mengerikan terpancar dari matanya, tiba-tiba datang seorang pegawai ke arah kami memecah ketegangan, namanya kak Putri (usianya lebih tua 2 tahun dariku, ia manis dan aku suka, jadi aku pernah nanya siapa namanya, biar bisa aku stalking di instagram, sekarang kami udah saling follow), mungkin ia melihat kami mengobrol agak lama,

"Ada apa, bang?" Tanyanya,

"Kata abang ini dia melihat..Sukram" yang menjawab malah kakak kasir itu dengan sangat cepat bahkan aku sendiri belum berpikir akan menjawab apa,

"SUKRAM?!" Kak Putri tak sengaja bersuara keras, lalu ia sadar dan menutup mulutnya sambil melihat ke sekeliling,

"Siapa Sukram?" Aku berusaha untuk tampak tenang, padahal penasaran setengah mampus,

Tiba-tiba terjadi hening sesaat, hening yang canggung, karena di kedai ini dari dulu aku jarang sekali bertanya apalagi berbicara, sekarang tiba-tiba berbicara serius, rasanya canggung saja,

"Sukram itu.." kata kakak kasir setelah menghela nafas yang panjang,

"Dia baru beberapa hari, ini, eh, mungkin 4 hari yang lalu meninggal" lanjut nya dengan ekspresi tenang yang dipaksakan,

Ada pegawai lain yang memanggil kak Putri, dan ia memberi kode kepada kasir bahwa ia mempercayakan cerita itu kepada nya, sedangkan ia memberi kode kepadaku bahwa ia harus kembali bekerja,

"Jadi yang kulihat itu, hantu?"

"Saya tak percaya hantu, bang, tapi memang tak ada orang yang menginap di kedai ini"

"Dia meninggal, maaf sebelumnya, karena apa?"

"Dia bunuh diri"

Jantungku berdetak lebih cepat, tiba-tiba teringat lagi olehku kejadian dinihari tadi ketika ia mengajak ku untuk makan lontong bersama, persis di kursi yang kududuki tadi, kata bunuh diri membungkus ingatan itu menjadi lebih ngeri, apalagi ketika ia berada di depan rumahku, entah bagaimana ia bisa mengejarku.

"Karena apa?" Lanjutku penasaran,

"Hmm" kasir itu tampak ragu, seperti ada yang ia sembunyikan, "ia ada masalah, tak taulah apa"

Aku tak bertanya lagi, meski masih penasaran, aku lebih memilih untuk menjaga etika, barangkali itu masalah personal atau masalah privasi toko ini, aku pun berangkat meninggalkan kedai,

"Bang!" Kakak kasir memanggilku saat aku baru tiga langkah menjauh,

"Sukram itu..." ia berhenti sejenak, seolah mengumpulkan keyakinan agar percaya padaku, "ia kesepian, tak tau kenapa, setiap bersama kami dia selalu menyalahkan kami tak bisa membuatnya senang"

Aku balik lagi, mendekat ke kasir,

"Dan dia bekerja baru beberapa minggu disini, mungkin 2 atau 3 minggu, dia selalu menyalahkan kami, hingga kami tak tahan lagi, jadi setiap ia mengajak ngobrol kami selalu mengabaikannya, dan hari itu, tepat setelah selesai kerja, jam 8 malam, kami mendengar suara teriakan sekali dari arah dapur, Sukram menusuk dirinya tepat di leher, dan ketika kami lari ke arahnya ia sudah menggelepar-gelepar, duh ngeri" ia menutup mata kuat-kuat dan menggeleng sekali,

"Lantai bersimbah darah dan kami berteriak histeris, berlarian kesana-kemari" ia berhenti, aku tau ia tak kuat lagi cerita,

"Ohh begitu, terima kasih kak"

Penasaranku sudah terjawab, tapi aku pun jadi bingung harus menjawab apa, rasa takutku berubah menjadi iba kepada Sukram, aku merasa ada yang harus kulakukan padanya, seperti panggilan hati, dan sifatnya ingin menolong,

"Oke kak, makasih udah mau cerita" aku meninggalkan warung tanpa peduli apa respon kakak kasir itu.

Sampai dirumah, aku hanya duduk-duduk di kursi teras, hari ini Sabtu, aku tidak ada jadwal kuliah, jam-jam kosong terbentang di depanku hari ini, tanpa aku tahu apa yang harus kulakukan untuk mengisinya.

Aku hanya menunggu datang dinihari.



Jumat, 09 Februari 2018

Kedai Lontong Bude Mijah I



Perutku lapar, namun jam sudah tenggelam larut dalam malam, aku ingin sepiring lontong, jam dinding kamarku menunjukkan tepat pukul 1 pagi, dan kedengarannya sangat sinting jika aku pergi ke kedai lontong jam segini. Tapi aku tak kuat lagi,  aku bangkit dari kasur dan segera memakai kaos andalanku (kaos hitam dengan gambar singa yang lagi menguap), dan membiarkan celana pendekku, lalu dengan sangat hati-hati membuka pintu depan agar orang tuaku tak tahu, akupun berhasil keluar tanpa suara, dan tentu kunci harus kubawa, disini juga rawan maling.

Jalanan kosong, tak ada orang yang ronda, berjalan disini pada dinihari sama seperti berjalan di kota mati, sepanjang jalan, mataku hanya memandang hamparan rumah-rumah dan warung yang tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Kedai lontong itu berjarak sekitar 700 meter dari rumahku, itu artinya butuh waktu sekitar 4 menit untuk tiba disana dengan jalan kaki. Sunyi benar-benar merupakan kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang kulihat, bahkan ketika kulihat langit bulanpun berada dibalik awan, seolah enggan menerangi langkahku, manusia pun pasti begitu, siapa yang mau menemani remaja 20an yang ingin membeli lontong pada dinihari? Kelakuanku sudah lebih dari orang gila, tapi perutku lapar, tak bisa tidur, karena hanya lontong yang terlintas terus-menerus di kepala dan hatiku, hingga lontongpun memaksaku agar mendatangi ia dirumahnya.

2 menit berlalu, aku sudah dekat, dari kejauhan sudah tampak perkarangan yang cukup luas, pagarnya tertutup, kedai lontong itu seperti rumah kecil namun perkarangannya cukup luas untuk menampung puluhan motor dan beberapa mobil, disekeliling perkarangan berdiri tembok beton, dan sedikit sisanya adalah pagar dimana kendaraan bisa masuk  ke perkarangan.

Aku sampai di depan kedai, dari balik pagar, aku mencoba menerawang ke dalam meski gelap dan tak ada lampu, sepertinya orang-orang yang bekerja di kedai itu tidak menginap di kedai, yang menjaga pun sepertinya juga tidak ada. Entah kenapa aku terus saja melihat kedalam sana, posisi kursi dan meja-meja nya sama seperti saat kedai ini buka, tapi kosong dan yang tergambar dipikiran ku adalah suasana saat sarapan pagi. 3 menit berlalu dan aku masih menatap kedalam kedai, tak jelas kenapa, namun hasrat ku untuk makan lontong sudah banyak berkurang, aku menerka sebentar lagi aku akan kembali pulang. Aku lihat hp dan jam menunjukkan pukul 1 : 22, angin dingin menerpa kulitku, sial, aku lupa memakai jaket, dan tentu saja betisku yang telanjang protes kedinginan.

Aku memalingkan tubuh dari kedai dan bersiap melangkahkan kaki untuk kembali kerumah, tetapi ada yang ganjil, aku tak tahu, tapi aku bisa merasakan ada seseorang yang mengintipku tak jauh dari punggung : aku bisa mendengar ia bernafas. Kukumpulkan keberanian untuk memutar badan, aku sudah bersiap-siap lari, jalanan terasa semakin kosong saja dan tampaknya tak ada bantuan yg bisa datang kalau saja terjadi apa-apa denganku. Aku menghitung sembarang, mengulur sedikit waktu untuk mengumpulkan keberanian, tapi aku putuskan lihat saja! Lihat saja lalu lari. Ketika aku membalikkan badan, kembali menatap ke kedai itu, aku terkejut bukan kepalang, tapi disisi lain aku juga terpaku tak tahu kenapa, ketakutan sekali barangkali. Ada seorang laki-laki yang mengenakan kaos putih, tampak jelas dikegelapan kalau ia sedang duduk di kursi yang tadinya kosong dengan sepiring lontong, ia memberi aba-aba kepadaku dengan tangan kanannya yg memegang sendok 'sini-sini, ayo makan'.

Aku takut, meski tadinya aku sempat berpikir kalau itu adalah orang yang tidur di kedai itu, dan memang sengaja makan saat dinihari karena tak ada waktu : karena lontong ini buka sampai jam 8 malam. Pria itu terus-terusan memanggilku, aku tak bisa melihat jelas wajahnya, tapi kulitnya coklat hampir ke arah putih, dan mengenakan topi biru seperti jeans. Entah kenapa aku tak bisa memalingkan wajah darinya, meski aku masih sadar, dan takut sekali, pria itu masih mengajakku kesana, wajahnya kelihatan tertawa, aku terlepas dari fokus ke arah wajahnya, mataku menjelajah kebawah meja, karena aku pecinta sepatu, aku sering auto-fokus ke sepatu setiap orang, dan dibawah meja aku tak menemui sepatu, pria ini tak memakai sepatu? aku fokuskan lagi, pria ini kok sepertinya tak memakai celana? Aku agak menunduk sedikit, penasaran, dan ketika aku menunduk, si pria yang duduk tadi hilang, aku kembali berdiri dan tersungkur kebelakang, kaget bukan kepalang si pria sudah berdiri di balik pagar dengan

Dengan jarak yang sangat dekat denganku (mungkin 70cm), dari posisi setengah tidur dan setengah duduk aku melihat wajahnya, ia tampak marah, wajahnya seperti orang-orang usia 35an, aku melihat ke ujung jalan disebelah kananku, kosong, dan dalam hitungan detik aku akan berlari. Ketika aku bergegas bangkit, pria itu menggeram dan berteriak "jangan lari! Ayo makan denganku" aku tak menghiraukannya, aku sudah 100 meter menjauhi kedai itu, dan sekali aku memutar kepala ku kebelakanh sambil tetap berlari, pria itu hanya menyandarkan kepala nya di pagar besi, wajahnya menghadap tanah : seperti orang yang sangat putus asa dan memiliki rencana untuk bunuh diri.

Aku sampai di depan rumah dengan nafas yang memburu, aku melihat jalanan, dan jalanan pun kembali membalas dengan jawaban yang sama : kosong, bisu, sunyi dan sepi. Ketika ingin membuka pintu, aku mendengar (atau perasaanku saja) langkah kaki seseorang, suaranya seperti sendal yang diseret-seret pada aspal, siapa itu? Disini tak ada orang ronda, dan memang, jam segini takkan ada lagi orang yang lewat apalagi jalan kaki, kecuali aku. Suara itu benar-benar nyata, dan semakin mendekat ke arahku, aku panik, membuka pintu pun terasa sulit dan lama, tapi akhirnya berhasil juga terbuka, dan aku tak sengaja menutup pintu dengan keras, untung saja orang tuaku tak bangun. Aku bergegas mengunci pintu dan bergerak ke jendela, mengintip siapa tadi yang ada di luar itu, alangkah terkejutnya aku, hampir saja berteriak jika aku terbawa emosi, dia adalah orang yang kujumpai di warung lontong tadi!



Minggu, 04 Februari 2018

DAHULU

Di atas meja warung Rosidi, sebotol tuak yang tinggal setengah, bersama empat gelas kosong sedang mengadakan pembicaraan yang hangat, purnama merekam dengan cahayanya, dimana malam menjadi latar yang baik, untuk sebuah 'tragedi',

Si botol membuka pembicaraan,

"Kita ini selalu disalahkan!" tegasnya,

Gelas-gelas diam, tak menanggapi, hanya menatap dengan arti pada si botol,

"Kenapa harus kita yang disalahkan?" Lanjut botol,

Gelas-gelas masih diam, tak lama sebuah diantara mereka menanggapi,

"Kau lah yang menyediakan, kami juga jadi korban, darimu dituang air dosa itu, lalu dari kami diminum, badan kami penuh dosa!"

Si botol mengayun-ayun badannya ke depan dan belakang, tak jelas kenapa, namun tampaknya ia mulai marah dan gelisah,

"Aku ini sebagai penyedia, mereka sendiri yang memilih untuk minum, lalu kenapa harus aku yang disalahkan?" Nada botol meninggi, lalu diam, memalingkan tubuh kaca, ia melompat-lompat menuju pinggiran meja, dan terjun bebas,

PRAKKKK

Gelas-gelas hanya diam kembali, bau tuak memenuhi udara, purnama diam-diam bergerak ke balik awan.

Aroma tuak itu, di mata para gelas warna nya kuning cerah, merupakan asap yang bergerak meliuk-liuk seperti ular di udara, ia berbisik kepada para gelas,

"Jika tak bisa menahan nafsu, jangan kau salahkan tuak yang menggoda"

Lalu ia terbang ke arah purnama.