Selasa, 28 Februari 2017

Apa itu teman?

Dalam buku Socrates Café  karangan Christopher Phillip, ada pembahasan di bab III tentang teman, dan jika anda mau membaca, di buku itu sepertinya tidak ada penjelasan pasti, melainkan opini masing-masing dari partisipan Socrates Café yang disatukan dalam sebuah dialog, pada kesempatan kali ini saya juga ingin menjawab pertanyaan "Apa itu teman?"

Jawaban dari pertanyaan diatas menurut saya tidak perlu panjang-lebar, karena untuk menjawabnya kita harus tahu teman pada dasarnya, pada dasarnya teman adalah sesuatu yang menemani, saya katakan sesuatu karena teman tidak selalu seseorang---tidak harus manusia, bahkan benda mati juga bisa disebut sebagai teman. Dan membahas tentang apa itu teman jangan membahas tentang "teman adalah seseorang yang saling mengerti bla bla bla atau teman adalah orang yang selalu ada bla bla bla", itu bukan "apa itu teman", tetapi itu adalah "apa yang menjadikan seseorang teman yang baik", karena teman pada sejatinya adalah sesuatu yang me-teman-i kita, tidak selalu yang mengisi "butuh teman" dalam diri kita---kita tidak harus butuh teman untuk mendapat teman. Teman juga terlepas dari sifat dari teman itu, karen teman juga merupakan definisi wujud,  tidak peduli apakah sesuatu yang kita labeli sebagai teman itu baik ataupun buruk, teman yang buruk bukanlah teman karena tidak menghasilkan sesuatu yang positif? Teman yang buruk bisa, teman yang buruk akan membuat kita belajar darinya dan menambah pengalaman kita.

Jadi apakah teman itu? Apakah seseorang/sesuatu yang baik? Sesuatu yang bermanfaat? Sesuatu yang mengerti kita? Sesuatu yang ada untuk mengisi "butuh teman" dalam diri kita?
Bukan. Teman adalah sesuatu yang bersama kita, terlepas dari kualitas, sifat, manfaat nya adalah di luar pembahasan.

Mantra dan Yakin ; mana yang lebih penting?

Dalam budaya dan keilmuan spiritual, tentu saja kita tidak asing lagi dengan yang namanya mantra, mantra adalah sesuatu yang vital dalam keilmuan spiritual, demi tercapainya suatu tujuan ilmu, namun jika anda pernah atau cukup sering membaca buku-buku klasik maupun modern dengan tema spiritual, anda pasti sering menemukan bahwa syarat ampuhnya suatu mantra adalah yakin, nah yang sering menjadi pertanyaan adalah yang manakah lebih penting, yakin atau mantra itu sendiri?

Mantra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah 1.  perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib (misalnya dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya), 2. susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain.

Dalam hal ini saya akan membahasnya menurut dua sumber kekuatan gaib :

1. Bersumber dari dalam diri 

Manusia diciptakan sudah dengan potensi kegaiban, dalam fisika kuantum, semua benda yang ada di alam ini dasarnya adalah atom, pikiran manusia memiliki kekuatan elektromagnetis dalam mempengaruhi atom, namun ilmu pengetahuan berhasil membuktikan bahwa kekuatan elektromagnetis jantung 5000 kali lebih kuat daripada otak, ini dapat dibuktikan dengan magnometer sampai pada jarak 3 meter lebih diluar tubuh fisik. Jantung yang dimaksud tak lain adalah hati, keyakinan adalah ketetapan dan percaya dari dalam hati kita, dan sudah dijelaskan bahwa otak memiliki kekuatan elektromagentis juga, namun tidak sekuat jantung/hati. Mantra pada zaman modern ini bisa disebut sebagai affirmasi, atau pengulangan kata yang disengaja untuk mengkondisikan dan menciptakan suatu bentuk pikiran (mindset), bicara tentang affirmasi dan hubungannya dengan berhasilnya suatu tujuan mindset (kesuksesan, merubah sifat negatif, memperbaiki kondisi keuangan dan lain-lain) tidak akan berhasil jika hanya berpegang kepada affirmasi itu sendiri, sedangkan hati yang selaras dengan tujuan affirmasi tersebut adalah kunci terpenting tercapainya maksud dari affirmasi. Sudah jelas, pada konteks ini yakin lah yang berperan penting dalam terciptanya energi gaib.

2. Bersumber dari luar diri

Sumber kekuatan gaib dari luar diri adalah roh halus dan Tuhan, dalam konteks ini, mantra bisa dikatakan sebagai bahasa untuk meminta bantuan ataupun memerintah kekuatan gaib dari sesuatu di luar diri kita, dalam Islam ada yang namanya dzikir, yaitu pengulangan suatu kalimat atau kata untuk memohon kepada Tuhan, sedangkan dzikir tidak berlaku jika ditujukan kepada makhluk halus, karena dzikir sifatnya memuji, dan jika makhluk halus bersedia membantu karena suatu dzikir, tentulah itu atas perintah dari Tuhan. Mantra mungkin lebih cocok ditujukan kepada roh halus, walau mantra bersifat meminta bantuan atau memerintah, meminta bantuan itu tidaklah sama dengan meminta bantuan kepada Tuhan, mantra untuk meminta bantuan bisa dicontohkan seperti meminta bantuan kepada seseorang untuk melakukan hal yang masih bisa kita lakukan namun ingin kita permudah, sedangkan meminta bantuan kepada Tuhan biasanya adalah untuk sesuatu yang sudah sangat sulit dan hampir diluar kemampuan kita. Sekarang kita akan membahas kedudukan yakin pada konteks ini, yakin adalah etika dalam tercapainya suatu tujuan mantra (dalam konteks ini), bagaimanakah reaksi jika anda meminta bantuan kepada seseorang dan orang tersebut tahu kalau anda tidak yakin terhadapnya? Tentu saja ia enggan untuk membantu anda. Mantra dan yakin kedudukannya sama, berbeda dalam konteks kekuatan gaib yang bersumber dari dalam diri---yang dimana mantra dan yakin kedudukannya yakin lah yang lebih penting, dan bisa dipisah dengan yakin saja tanpa mantra. Dalam konteks ini, kedudukan keduanya sama dan tidak bisa dipisah, bagaimana anda bisa yakin orang akan membantu anda sedangkan anda tidak meminta bantuan? 

Jadi jawaban dari pertanyaan "Lebih penting Mantra atau Yakin" menurut pendapat saya adalah tergantung anda menggunakan konteks yang mana, konteks kekuatan dalam diri bisa sejatinya bisa digunakan seperti apa yang bisa kekuatan luar diri lakukan, jadi jawabannya adalah lihat mantranya dan tujuannya, apakah meminta bantuan kepada sesuatu diluar diri atau lebih seperti affirmasi kepada diri sendiri? Jika meminta bantuan kepada sesuatu diluar diri anda tentu tidak bisa memisahkan mantra dengan yakin, anda harus menjalankan keduanya, sedangkan jika mantra tersebut lebih kepada affirmasi, seperti contoh (ototku kawat tulangku wesi atau semua setan tunduk takluk...) itu sudah jelas termasuk ke dalam kekuatan dalam diri, kalau begitu anda hanya perlu yakin, sedangkan jika mantranya sudah seperti ayat-ayat itu termasuk ke dalam kekuatan di luar diri, anda harus membaca 'mantra' nya dan juga harus yakin.

Senin, 20 Februari 2017

Takdir

TAKDIR

Berawal dari pertanyaanku..
Tentang takdir, apakah takdir berlaku..
Dan berlaku pada segala hal yang dapat diliput indra..
Apakah takdir yang menjadikan bebatuan pecah..
Di tangan si praktisi ilmu shaolin..
dan apakah takdir juga, yang menjadikan batu yang mungkin tidak akan ditemukan..
Menjadi sebuah permata yang berharga?
Apakah takdir juga merambat pada kuah-kuah lontong yang berserakan..
Dan menjadi akhir dari sebuah proses yang sia-sia..
Apakah takdir menempatkan kuah lontong pada mangkuknya..
Dan menjadikan kuah lontong itu disantap para pengusaha?
Nah kawan, apakah karena takdir suatu tanah menjadi sumber perpecahan?
Ataukah karena kehendak Tuhan yang katanya menyembunyikan hikmah pada segala sesuatu?
Paku kan pandangan pada bungkus-bungkus makanan yang berserakan..
Apakah mereka dijadikan hanya untuk pemikat yang akan selalu dibuang tanpa dikenang?
Lepaskan pandangan pada takdir koran yang hidup untuk hari itu..
Lepaskan!! Lepaskan kawan..
Lepaskan tanyamu pada bata yang berserakan karena tenaga dalam..
Lepaskan!! Lepaskan kawan..
Lepaskan harumu pada butir-butir nasi yang terbuang pada akhir sebuah proses.

Kamis, 09 Februari 2017

Parallel (9) : Reality is your Choice (END)

   Kami akhirnya memberhentikan motor kami tepat di belakang inova itu, yang tak lain adalah ayah, aku melirik sebentar ke arah hutan tempat pintu berada,

"Ayah?" Bang Fad memanggil ayah lewat jendela samping supir yang dibuka.

"Apa yang kalian inginkan disini?" Jawab ayah dengan tenang dan turun dari mobil

"Bagaimana ayah tau kalau..."

"Fad, Fadal anakku, kita bukan baru bertemu kan? Jangan berpikir kalau kita baru kenal kemarin sore"

Bang Fad hanya diam menatap ayah dengan memasang wajah bingung,

"Ayah tau pasti bagaimana kelakuanmu"

"Jadi ayah sengaja mengatakan pergi kerumah teman karena..."

Ayah tersenyum, dan berjalan mendekati bang Fad, sedangkan aku berada di belakang bang Fad hanya berdiri seperti yang selalu aku lakukan,

"Kemari nak, ada apa disana? Apa ada masalah disana? Apa perlu ayah membantu? Sampai kau berkeinginan kuat untuk kesini?"

Bang Fad menoleh ke arahku sebentar,

"Izinkan Fadal masuk kedalam sana bersama Gugus"

"Baiklah, kalian akan kembali kan?"

Bang Fad menoleh lagi ke arahku, dan tersenyum, aku tau senyum itu adalah senyum kesedihan,

"Kami tidak tahu yah" bang Fad mengangkat bahunya kemudian menunduk

"Hahaha, kalian sudah dewasa, dan bukan anak-anak lagi"

Sekali lagi kami berdua hanya diam,

"Sini, peluklah ayah jika ini adalah waktu terakhir kita, sini" ayah memanggilku

   Dan kami berdua memeluk ayah dengan erat, jujur aku tak kuat menahan emosi ku, hingga meluapkan air mata, setelah melepaskan pelukan, aku memandangi setiap detail dari ayah, dan berulang-ulang, tentu aku akan bertemu lagi dengan ayah, tapi bukan ayah yang ada di depan aku saat ini, ayah yang NYATA

"Masuklah kesana nak, ayah akan menunggu saja dari sini, ayah akan menunggu sampai kalian keluar, berapa pun lamanya" ayah senyum lalu kembali murung, dan kembali ke mobil dalam keadaan tertunduk

   Kami berdua kemudian memasuki hutan itu, dan benar, pintu itu masih disana, pintu itu ada dan tidak pernah dikunci, setelah sampai di dalam seperti sebelumnya, hanya ada tanah kosong dan perasaan aneh, dan kami juga menoleh ke belakang, dan sesuai dugaan, pintu itu sudah menghilang, untungnya masih ada pintu di depan, ketidaknyataan sudah hilang di depan mata, sebagai gantinya kenyataan lama akan kami hadapi, sudah sesuai dengan pilihan kami.
   Ketika bang Fad membuka pintu itu, dan kami berjalan ke depan, memang gelap sekali tapi kami tau kami hanya perlu jalan lurus ke depan sana, dan tak lama kemudian aku mendengar suara inova kami, kamipun berlari kesana dan berdiri di pintu samping supir,

"Jangan bilang kalian cuma masuk kesana dan tidak melakukan apapun, karena kalian datang lebih cepat dari laki-laki yang buang air kecil!" kata ayah setelah membukakan kaca,

"Jadi apa sebenarnya yang kalian lakukan?" Ayah berbicara dari bangkunya, mendongakkan tubuhnya mendekat ke arah kami,

Aku dan bang Fad hanya menoleh satu sama lain, dan tersenyum aneh,

"Tidak ada yah" jawab bang Fad sambil tersenyum hingga menampakkan giginya

"Oke...." ayah menghidupkan mobil,

"Jadi apakah kau jadi tidur di rumah temanmu malam ini?" Tanya ayah sebelum menutup kaca,

"Jawabannya adalah apakah ayah jadi pergi ke rumah teman ayah" jawab bang Fad,

Sontak kami bertiga diam, dan tiba-tiba ayah tertawa dan kamipun ikut tertawa,

"Ayah bisa kesana besok malam!"

"Fadal juga!"

   Ayah membunyikan klaksonnya dan pergi meninggalkan kami, setelah itu selama perjalanan pulang, bang Fad tidak ada mengucapkan sepatah katapun denganku, aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya saat ini, tapi yang pasti aku belajar suatu hal dari kejadian ini ;

"Jangan menyalahkan kenyataan yang tampak salah, karena kau akan berterima kasih padanya jika kau berhasil melewatinya"

Terima kasih kuucapkan pada semuanya, ayah, terutama polisi-polisi, nenek, Vivi, Ibu, kakek, saudara-saudara lainnya, dan tidak untuk bang Fad..

Karena hanya dia yang NYATA,

Hahaha.

Parallel (8) : Kepo

   Tibalah gelap menyelimuti langit, yang menyisakan sedikit goresan merah tebal, kadang kuning ikut disana, sang purnama yang tadinya malu-malu, kini sudah percaya diri untuk menampakkan dirinya pada dunia, cerita pagi tadi sudah ditutup dan kini saatnya bagi ia untuk menciptakan cerita sendiri, tentang apa saja yang terjadi dibawah pengawasannya.
   Selepas mengobrol di gazebo sore tadi, bang Fad pergi ke kamar Ayah di atas sedangkan aku menonton TV dan dibuat bosan setengah mati ole percakapan dan nasehat nenek yang entah berapa puluh kali sudah diulangnya, tapi sebagai cucu yang baik, setidaknya seperti itu kata nenek, aku tetap mendengarkan dan sesekali bertanya untuk menunjukkan kontribusiku pada rencananya yang bertujuan membuatku menjadi anak yang baik dan berbakti.
   7 menit lagi pukul 7 malam, kebetulan sekali bang Fad baru saja turun dari tangga, dan langsung keluar dari rumah, tentu saja aku mengikutinya, dan tentu saja meminta sedikit uang jajan sama nenek.
.....

"Jadi apa rencanamu?"
"Meminjam kunci motor bang Billy"
"Loh bukannya abang sudah hampir 1 jam dikamar ayah?"
"Iya, kata ayah dia mau makai mobil pergi kerumah temannya"
"Ooh, yaudah aku udah ada uang bensin"
"No..no..no" bang Fad menunjukkan tiga lembar kertas merah
"Uang siapa?"
"Uang taksi tadi pagi ditambah sisa dompetku"

   Kami menuju garasi sebelah kiri, yang belum dikunci karena belum waktunya (garasi dikunci pukul 11 malam), dan bang Fad yang membawa motornya, dan kamipun bergerak perlahan menjauhi rumah nenek.
   Kami tidak langsung pergi ke lokasi pintu itu, tetapi harus mengisi bensin, dan kami lupa kalau ini malam minggu, perlu waktu 15 menit sampai tiba giliran motor kami.
.....
   Sejujurnya aku sedikit takut kami mengemudi di jalan lintas di jam-jam malam, karena ramainya mobil dan jarang ada motor, meskipun kami berdua memakai helm, itu tidak bisa memastikan kalau kami masih hidup jika sampai bertabrakan dengan....ya Tuhan, kenapa aku memikirkan yang aneh saat diperjalanan.

"Pelan dikit bang!" Teriakku, karena suaraku di kecepatan 100km/jam hampir tak terdengar.

   Dilihat dari cara bang Fad mengemudi, aku curiga kalau dia punya cita-cita di hati kecilnya yang tak tersampaikan, yaitu menjadi pengikut rossi, caranya menyelip dan menyalip tanpa banyak menurunkan kecepatan sering sekali membuat jantungku hampir copot, tapi aku tidak mau berpikir yang macam-macam malam ini.

"Berapa menit lagi?!!"
"Apaa???"
"Berapa menit lagi?!!" Ulangku,
"Apanya??"
"Kita sampai!?"
"Sampai? Oohh sampai, mungkin 10 menit lagi, jangan banyak bertanya aku lagi mengemudi!!"

   Setiap 10 meter ada dua mobil yang berpapasan dengan kami, karena banyak yang ingin pulang kampung di hari libur ini, kebanyakan dari pengemudi mobil suka menyorotkan lampu jauh, dan anehnya ketika kami sudah hampir berpapasan dengannya.
   Dannn....50 meter lagi adalah lokasi yang dituju, tapi tunggu...

Kenapa ada mobil inova hitam yang dipinggirkan di dekat pintu itu?

Parallel (7) : Exist

Rumah Nenek, 12 Juni 2016, pukul 15:29 Waktu Paralel

   Tidak mungkin dipungkiri lagi, begitu kami masuk ke dalam, bang Fad dan ayah langsung ditanyai oleh saudara-saudara yang kebetulan sudah sampai, sedangkan aku? Aku hanya pemain figuran, aku hanya mengikut dan tidak melakukan apa-apa, jadi mungkin mereka berpikir tidak ada gunanya bertanya kepadaku

"Gimana ceritanya kok bisa..."
"Makanya kamu juga harus hati-hati.."
"Udah-udah.."
"Kamu hati-hati.."
"Udah yang penting tidak ada apa-apa.."

   Aku meninggalkan kerumunan dan berjalan menuju halaman belakang, mata bang Fad terfokus ke arahku ketika meninggalkan ruang tamu, aku tau dia akan menyusulku nanti, aku hanya ingin beristirahat, capek juga rasanya walau tidak ada yang kulakukan, mungkin karena ketegangan yang bertahan selama beberapa saat tadi, dan akhirnya kusandarkan bahuku pada sisi gazebo yang terbuat dari kayu mahoni dengan ukiran daun-daun.
   Matahari perlahan-lahan turun, dan suasana sekitar sangat teduh, sambil menunggu bang Fad, aku hanya menatap lurus, menatap kosong, berpikir tentang saat kecil dahulu, aku melihat sendiri gazebo ini sedang dibangun oleh kakek, saat itu aku baru dua bulan berada di Sekolah Dasar, juga teringat saat bang Fad mengambil sebilah kayu untuk di buatnya ketapel, sedikit lucu karena kakek tidak tahu bahwa bang Fad suka sekali mencuri buah tetangga-tetangga kami dan ketapel itu tentu saja sangat membantunya, waktu cepat berlalu dan kakek sekarang hanya duduk di kursi rodanya menunggu habisnya senja, seperti yang sekarang aku lakukan.

"Sudah lama? Ahh..aku membawakan teh untukmu, minumlah" bang Fad duduk di depanku, kami hanya dibatasi meja persegi yang terletak di tengah gazebo.

"Jadi bagaimana?"

"Bagaimana apanya?" Tanya bang Fad memandangku aneh

"Dunia paralel" hanya itu yang kukatakan , aku kemudian meneguk teh buatannya, tehnya cukup enak untuk dibuat oleh seseorang seperti bang Fad

"Hahaha" bang Fad tertawa setelah meneguk dan menghembuskan nafas yang panjang melalui mulutnya

"Aku tidak tahu, menurutmu kita harus kembali?"

"Ya..gimana ya, mereka kan tidak nyata bang?"

"Nyata? Gus, kau tahu pertama kita tahu bahwa ini adalah kenyataan yang tidak kita inginkan, kan?

"Hmmm" aku tidak menatapnya dan hanya meneguk teh.

"Tapi entah bagaimana, kadang yang terjadi adalah bahwa kenyataan yang tidak kita inginkan itu adalah tempat dimana kita banyak belajar sesuatu" ia tersenyum tipis

"Belajar maksudmu belajar apa?"

"Sekarang aku tidak tahu mana yang nyata dan tidak nyata, tapi kau lihat lah, mereka membantu dan menyelamatkan hidupku, mereka bukan kenyataan pahit yang harus kita hindari Gus, meski awalnya begitu, dan mereka sama saja dengan keluarga kita yang NYATA"

Aku hanya diam menatapnya setelah ia menegaskan kata nyata tadi

Bang Fad menarik nafas yang dalam, kemudian mengeluarkannya dengan lega,
"Atau jangan-jangan nyata atau tidak nyata itu hanya persepsi kita saja? Aku lihat mereka sama saja dari segi apapun yang ingin kau lihat, aku bisa saja berpersepsi kalau kau bukan adik NYATA ku"

"Oke jadi ke intinya saja, kita akan kembali ke pintu itu atau tidak?" Aku tidak ingin membuang-buang waktu karena pertanyaan itu dari tadi kusimpan saat mendengarkan filosofi-filosofi bang Fad

Bang Fad meneguk lagi tehnya,
"Jam 7 nanti, temui aku diluar, aku akan mengatakan kalau kau ikut menginap kerumah temanku di komplek pemuda"

Ada kilatan jahil dimata bang Fad selaras dengan senyum bejatnya, kau tidak perlu terlalu lama berpikir untuk mengetahui maksudnya.

Parallel (6) : Learn

"Selamat pagi, saya kapolsek perbatasan Setia Hadi, ingin memberi tahu bahwa supir taksi dengan nomor plat D 2549 AB telah membawa lari seorang pemuda, bisakah anda melacak lokasinya sekarang juga?...baik saya tunggu"

   Aku hanya menunggu di mobil, sedangkan ayah berbicara bersama petugas lain, yang ada dalam pikiranku saat ini hanyalah bang Fad, maksudku, aku hanya tidak menyangka, baru beberapa menit kami berbicara, dan....ya, aku tidak bermaksud mengatakan bahwa, itu hanya kemungkinan, mungkin dia bisa saja dibunuh, mungkin kau akan berkata kalau aku terlalu cemas, tapi dalam sepekan ada 3 kasus pembunuhan di daerah ini, dan yang terakhir adalah seorang wanita bukan keturunan Indonesia, ditemukan tanpa tangan dan kaki di hutan, dan itu terjadi setelah ada pemberitahuan bahwa ia diculik setelah memesan sebuah taksi!
.....
"Kita berangkat" Ayah masuk dan langsung menyalakan mobil
"Ayah hanya memikirkan hal yang terburuk, bukan karena ayah tidak bisa berpikir..."
"Aku tau ayah, jalankan saja mobil nya, berdoa dan kita hadapi apa saja yang nanti akan terjadi"

   20 menit berlalu dan kami sampai pada sebuah hutan, yang lokasinya sekitar 40km dari kantor polisi, pertama kali turun dari mobil dan menginjakkan kaki di hutan ini aku merasakan sesuatu yang tidak enak, 5 orang polisi termasuk kapolsek berada di depan kami dengan revolver di tangan masing-masing, kami berjalan dengan perlahan dan memerhatikan sekeliling, telpon dari ibu terus berdering, dan setiap berdering aku mematikannya karena kami tak ingin ada suara disini.
   Kapolsek itu memberi aba-aba untuk berhenti dengan tangannya, aku berusaha menjangkau sejauh mungkin apa yang bisa dilihat, dan tampaknya beberapa puluh meter dari sini ada sebuah rumah, mungkin kau akan menyebutnya kandang sapi.

"Kalian tunggu disini, dan jangan masuk sampai saya beri aba-aba, mengerti?" Kapolsek dan rekannya dengan perlahan berjalan ke arah rumah kayu itu
"Dan tetap awasi sekeliling kalian" lanjutnya sambil tetap berjalan

   Keseringanku melihat film-film penangkapan sandera akhirnya menjadi kenyataan bahwa aku telah menghadapi situasi yang sama, kalian akan merasakan seolah kalian bisa menahan nafas untuk waktu yang sangat panjang, begitu juga ayah, yang terpaku pada ujung pandangannya, para polisi itu sudah sampai di sisi-sisi rumah, 3 bagian kiri dan 2 bagian kanan, berdasarkan film-film yang kutonton, mereka akan mendobrak pintu itu kurang dari 1 menit lagi,

"Angkat tangan! Letakkan senjata kalian!" Suara mereka terdengar kurang jelas sebenarnya, tapi kalian pasti tahu apa yang diteriakkan kapolsek itu
"Dor!! Dor!!"
....
....
   Bang Fad kembali dalam keadaan selamat, keluar dari rumah itu dia langsung berlari ke arah kami, sedangkan polisi-polisi masih di dalam,

"Aku benar-benar takut ayah, maafkan aku" bang Fad langsung memeluk ayah begitu sampai ke kami, lalu ia melepaskan pelukannya dan melihat ke arahku, tentu saja dengan sebuah senyuman yang jarang ia perlihatkan kepada keluarganya, dia takkan memelukku,
....
   Polisi itu akhirnya membawa mayat sang pelaku dan kami berjalan menuju kantor, untuk dimintai keterangan, sedangkan taksi sang pelaku dibawa oleh polisi sebagai barang bukti, kecemasanku sudah hilang, ketakutanku sudah terjawab, dan aku hanya menikmati perjalanan menuju kantor sambil terus tersenyum seolah aku bisa belajar banyak hal, hahah hidup ya kadang, kalian pun pasti tau, banyak hal yang..., tunggu..
Aku melewatkan satu hal.

Senin, 06 Februari 2017

Parallel (5) : What make you doesnt leave

"Jadi gini, aku pernah baca tentang teori yang masih konspirasi, yaitu tentang dunia paralel, yang kau lihat dan yang kau alami saat ini, ada berjuta bahkan millyaran dunia yang berbeda namun sama, dan kita ada di disalah satu millyaran tersebut"

   Percakapan kami di halaman belakang rumah nenek kali ini adalah percakapan paling serius seumur hidupku berbicara dengan bang Fad, oh ya, halaman ini hanya seluas kira-kira 20x30m, ada satu gazebo kayu yang kami duduki sekarang ini, di kiri dan kanan dibatasi oleh dinding rumah nenek sendiri, 'keluarga'ku mungkin sibuk berbicara dan bertanya tentang kehidupan belakangan ini, sama seperti apa yang selalu mereka lakukan setiap berkunjung kesini
"Gus, aku akan memesan taksi, sedangkan tugasmu adalah berpura-pura..."
"Berpura-pura bahwa abang kabur?"
Bang Fad membuka matanya sedikit lebih lebar, dan sekejap raut wajahnya berubah menjadi wajah seperti seseorang yang tahu bahwa dia berhasil mengajarkan abjad kepada anak berusia 3 tahun,
"Kau harus menunjukkan bakat terpendammu itu kepadaku"
Bang Fad lalu bangkit dari tempatnya
"Eh, tapi apa abang tau tempat persisnya dimana?"
"Itu terlalu mudah untuk orang yang berpikiran panjang sepertiku" bang Fad menunjukkan google maps dan lokasi pintu tersebut sudah ditandainya, gila, aku bahkan menduga bahwa dia tidak peduli dan langsung tidur begitu masuk ke dalam mobil
"Akan kukirim lokasi nya saat diperjalanan nanti, sekarang aku harus berpura-pura pergi kekedai dan meminta duit dari Ibu"
.....
"Kabur?! Mau kemana abangmu itu?"
Seisi rumah kaget dan ayah buru-buru mencari kunci mobil.
"Ayo Gus, Ibu dan yang lain tunggu disini"
.....
   Waktu di jam tanganku menunjukkan pukul 9 tepat, ayah tampak sangat tidak tenang mengendarai mobil, ia terus menerus melirik ke kiri dan kanan dengan cepat, beberapa kali aku melihatnya ingin mengatakan sesuatu, atau mungkin mengumpat, namun ia tahun dengan menghembuskan nafas yang panjang.
   Kami sudah 80km menuju jalan pulang, dan beberapa menit lagi akan sampai ditempat tujuan, aku bahkan baru menyadari betapa cepatnya bang Fad berpikir dan beraksi, orang biasa mungkin akan terpikir sebuah ide dan mengulangnya di dalam pikirannya untuk beberapa hari.
   Tiba-tiba hpku berdering, aku belum sempat mengecek penelponnya,
"Berikan kepada ayah" ayah mengulurkan tangan kirinya ke arahku
"Fad?Fad dimana kamu?"
"Selamat siang, apakah ini keluarga Fadal Halim?"
Ayah tersentak dan langsung meminggirkan mobilnya,
"Iya pak, benar sekali"
"Ya Tuhan" dengan suara pelan sekali yang hanya terdengar olehku, wajah ayah seperti ingin menangis.
"Mohon maaf pak, taksi dengan berplat D 2549 AB telah mencuri Fadal Halim dan kami akan melacak pelakunya tepat saat telpon ini ditutup, ada pertanyaan?"
"Ba..ba, ehm, bagaimana bapak bisa tahu?"
"Ya, kami menemukan sebuah dompet dan sebuah kertas di depan kantor kami, kemungkinan saudara Fadal sudah mengetahui aksi sang pencuri"
"Apa, apa isi kertas tersebut pak?"
"Disana hanya tertulis nomor bapak, sangat cerdas"
"Apa kami boleh mengikuti bapak? Oh ya apakah ada ponsel juga yang mungkin dilempar anak saya pak?" Ayah menghidupkan mobil
"Boleh, pergilah ke kantor kami di perbatasan, tidak ada, kami sudah mengecek sekitar begitu menemukan dompet dan kertas itu"
"Baiklah pak kami kesana"
"Terima kasih"
   Wuuuunnngg dan mobil kami melaju dengan cepat, aku ingin menghubungi bang Fad, tapi ada sesuatu dalam diriku yang mengatakan jangan, dan sesuatu itu juga membuatku berfirasat bahwa aku tidak akan pernah bertemu bang Fad lagi.

Parallel (4) : Approve Me

"Aku tahu itu makanya aku memilih untuk berpura-pura tidur, tunggu saja ketika kita sampai dirumah nenek, dan lihat jamnya, dan jangan kirim aku pesan lagi, aku ngantuk"

   Huft, aku merasa ada teman, setelah beberapa menit kesepian dan kecemasan menyerangku, akhirnya aku merasa ketika aku dan abangku, sama-sama menyadari, aku merasa kalau aku tidak sendiri di situasi ini. Jujur, aku tidak bisa menikmati perjalanan ini, dan sepanjang perjalanan aku beberapa kali berpikir bahkan aku sekali mencubit diriku, meyakinkan diriku bahwa aku tidak sedang bermimpi, dan sisanya aku hanya berharap yang terbaik ketika aku menginjakkan kaki dirumah nenek, semoga.
....
   Hari sudah menjelang pagi, aku tahu itu karena aku bisa melihat jelas merk parfum mobil yang diletakkan di tengah kaca depan,  ibuku, ayah dan pastinya Vivi masih terjaga ketika aku membuka mataku, dan bang Fad melihat-lihat pemandangan dari kacanya, menurut pengalamanku berkunjung kerumah nenek, kami akan tiba kira-kira 10 menit lagi.
Bang Fad tidak memandangiku sedikitpun pagi ini, ada perasaan yang kurang dari 10 persen dari diriku yang mengatakan, bahwa jangan-jangan bang Fad juga tidak nyata, sama seperti tiga orang di dalam mobil ini, entahlah, aku tidak bisa menyimpulkan kenyataan dari apa yang aku lihat.
....
"Ayo, turunkan tas kalian masing-masing, ayah tidak akan mengangkatnya"
   Akhirnya kami sampai dirumah nenek, aku masih ingat sekali terakhir kali aku kesini, dan tidak ada yang berbeda, rumah dua tingkat, dengan warna coklat yang lunturnya tidak terlihat, ciri khas rumah-rumah tahun 60-an, ventelasi-ventelasi kayunya masih lengkap, hanya saja di teras depan sana kursinya bukan kursi goyang seperti terakhir kali aku kesini.
   Kami berjalan menuju pintu depan dengan menenteng tas masing-masing, pintu yang berwarna hijau tua, disana digantung ukiran kayu bertuliskan 'welcome' dan dihiasi bunga-bunga replika. Ayah mengetuk pintu, dan kami hanya menunggu beberapa saat sampai ada seorang perempuan tua, dengan wajah yang bersinar lengkap dengan senyumnya, menyambut kedatangan keluarga yang sudah 3 tahun lamanya.
   Bang Fad menabrak bahu kiriku, dan mendahului ku untuk menyalam nenek, kau pasti tahu apa makna dari tabrakan bahu yang disengaja itu?
.....
   Sampai di dalam, yang mana ketika kau masuk kerumah nenekku yang pertama kau lihat adalah sepaket meja dan kursi makan khas tahun 70an, lalu kau pasti akan melihat ke kanan, ke sebuah TV yang dizaman ini tidak akan kau temui lagi, ini adalah ruangan random, dari makan, nonton TV, dan ngumpul diruangan ini, TV yang kau lihat tadi ada di bagian kanan, sejajar dengan motor BSA yang juga sangat sulit kau temui di zaman ini, dan ruangan kami, ya ruangan kami ada di lantai atas.
   Oh ya, shit, aku hampir lupa melihat jamnya
"Ayo angkat barangmu dulu dan temui aku di belakang" entah bagaimana abangku bisa tahu kalau aku sedang memikirkan masalah itu
   Sambil menaiki tangga kayu itu, perlahan-lahan kulihat jam tua yang berdiri itu, yang semakin lama semakin tak terlihat seiring berjalannya aku ke atas..
...
Memang menunjukkan waktu yang 30 menit lebih cepat dari jam tanganku dan jam hp bang Fad.

Paralel (3) : Weird

   Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami setelah saling menatap selama kurang lebih satu menit, terlihat wajah panik, cemas dan penuh tanda tanya di masing-masing kami.
"Aku merasakan sesuatu yang aneh" ujar bang Fad memecahkan suasana hening.
"Ini seperti, ah aku tidak bisa mendeskripsikannya, kau bisa merasakannya Gus, energi ini" bang Fad merentangkan tangan kanan nya
Aku masih tidak mengerti apa maksud abangku yang aneh ini
"Ayo kita ke pintu di depan itu, sebelum hal yang sama terjadi" tanpa memperdulikan apakah aku sudah mengerti atau tidak, apakah aku akan mengikutinya atau tidak, bang Fad yang individual mengambil langkahnya dengan cepat dan berlari meninggalkanku.
"Lebih cepat!" Tegas bang Fad dengan nafas yang tersengal-sengal.
.........
   Bang Fad langsung menarik pegangan pintu besi tua itu, dan benar, pintu itu tidak terkunci, sama seperti pintu yang sebelumnya kami masuki.
   Dari pertama pintu itu baru terbuka kami sudah mendengar suara mobil, yang tidak salah lagi adalah mobil kami, dan ternyata benar, mobil itu ada disana, bang Fad tampaknya tidak mempunyai pikiran yang sama denganku, pikiran yang masih bertanya mengapa ada mobil yang sama, dan apakah itu keluarga kami? Bang Fad langsung berlari ke arah mobil itu, ya, aku harus mengikutinya, lebih baik melakukan dahulu sebelum menyesal, dan bertanyalah kemudian setelah aman.
......
"Lama sekali, hampir satu jam kami menunggu kalian?!" Tegas ayah, sambil menginjak gasnya
   Awalnya aku tidak ada pikiran apapun, toh itu memang ayah, ini memang mobil kami, dan isinya memang keluarga kami, disamping ayah memang Ibu dengan tas kecil kulit yang berwarna coklat dipangkuannya, dan dibelakang Vivi yang masih terjaga dengan gadget di tangannya, semuanya aman, tidak ada yang aneh.
"Ayah baru tau kalau ada laki-laki, yang sudah dewasa buang air sedemikian lamanya" ayah menggerutu sambil tetap menyetir
   Pada saat pertama ayah mengatakan hampir satu jam, aku hanya menanggapinya sebagai sindiran, tetapi setelah pengulangan yang kedua dan dengan wajah yang serius dan marah sedikit terpancar dari wajah ayah, aku akhirnya merasa ada yang janggal, aku melihat bang Fad yang sudah tertidur di sebelah kiriku, lalu kuliat ke depan, ke arah jam mobil, menunjukkan pukul 3:50!
Benar! Hampir satu jam kami diluar, lalu dengan perlahan aku lirik jam di tangan kiriku, dan jantungku beserta aliran darahku seolah berhenti, karena angka nya menunjukkan 3:27, tidak, jam mobil kami tidak mungkin cepat beberapa menit, cepat atau lambat satu menit pun tak pernah, aku tahu sekali itu, badanku tetap tegak tanpa menyender ke kursi mobil, kuperhatikan sekelilingku tanpa menggerakkan kepalaku, lalu hanya satu yang ku percaya, yaitu bang Fad, karena dialah yang nyata dari semua ini, yang lainnya, ayah, ibu bahkan Vivi dengan aktingnya yang sangat bagus dan natural memainkan gadget tanpa terlihat sedang menjebak kami.
Dengan perlahan kuambil hp ku di kantong kanan, dan mulai menulis pesan untuk bang Fad.

Minggu, 05 Februari 2017

Parallel (2) : Door of Parallel

   Mengemudi di pagi sekali tidaklah sama dengan mengemudi di malam hari, meski keduanya hampir sama dalam penerangan, mengemudi di jam 2 pagi seperti berangkat ke kantor lebih awal, sedangkan mengemudi di malam hari sama seperti macet di siang hari.

"Gimana ma, ada telpon dari Ibu?" Tanya ayah melirik sebentar ke arah Ibu,  lalu kembali fokus ke jalan.

Ibu mengecek Hp nya,
"belum pa, tapi kalau gak salah tadi kata Ibu bang Aris sudah berangkat, pas waktu kita sedang bersiap-siap tadi, mungkin keluarga mereka sebentar lagi sampai" Ibu kembali memasukkan HP nya kedalam tas kecil yang dipangkunya.

   Bang Fad selalu tidur di perjalanan, sedangkan Vivi tidak banyak omong, bahkan ketika kita berpikir dia tidur, dia tetap terjaga, Vivi jarang sekali tidur di perjalanan.
   40 menit berlalu dan sebentar lagi jam 3 pagi, sudah mulai berdatangan truk-truk dari luar kota yang menuju ke kota kami, kecepatan mereka harus diwaspadai.

"Aduduh Aduh, yah berhenti bentar, Fad mau pipis" Bang Fad tiba-tiba bangun, menepuk-nepuk jendela mobil disampingnya.

"Tunggu sebentar" Ayah menjawab sambil melihat ke kiri dan depan, mencari tempat yang pas sambil tetap waspada ke jalan.
Akhirnya ayah meminggirkan mobilnya, di depan sebuah kebun sawit yang cukup luas

"Gus, kawanin abang bentar, ayo" Bang Fad lalu turun, begitu juga aku turun di pintu yang sudah dibuka bg Fad, soalnya pintuku mengarah ke jalan.

   Bang Fad jalan beberapa meter menjauhi mobil, suasana gelap dan aku hanya mendengar bunyi gresek dari bang Fad yang melangkah, aku hanya membiarkannya karena tidak ada perasaan atau pikiran negatifku tentang kebun sawit ini, ya benar tentang hantu ataupun binatang liar.

"Jangan lupa minta izin dulu bang" teriakku, karena kepercayaan masyarakat kami, jika ingin buang air di daerah yang tidak kita kenali, harus beri salam atau minta izin, kalau tidak kita akan sial dan diikuti oleh 'pemiliknya'.

......
  
   Aku liat jam di tangan kiriku, jam tangan hitam kulit pemberian kakekku, sangat lengkap, dari detik, menit, cuaca, tanggal bahkan suhu sekitar, dan ini sudah lebih 1 menit dan bang Fad tidak bersuara, aku tetap sabar..

"Gus...sini bentar, sini" baru saja aku curiga, bang Fad memanggilku.

   Aku berjalan lurus ke depan, masih ada sedikit pencahayaan jadi aku tidak memerlukan senter.

"Gus, coba hidupkan senter, ada yang aneh" bang Fad mendorong-dorong pundakku

   Aku segera mengambil HP ku di kantong celanaku, lalu menghidupkan fitur senter yang tersedia.

   "Apa?! Apa ini ?!!" Suara bang Fad cukup keras untuk terdengar dalam jarak 5 meter, tapi mungkin tidak terdengar oleh yang di mobil,

   Di depan kami ada sebuah pintu tua terbuat dari besi, yang tingginya kira-kira 11 meter, dan tampaknya pintu ini berada diantara dinding yang ditutupi oleh tumbuhan-tumbuhan liar.

"Barang kali ini pintu menuju ke tempat yang punya kebun ini bang, sudah ayo kembali ke mobil" ujarku sambil membalikkan badan dari pintu itu, masih mendengar suara mobil kami dari jarak ini.

"Srek...." Bang Fad mendorong pintu yang ternyata tak dikunci itu.

"Tidak dikunci" ucap bang Fad sambil menoleh ke arahku, raut wajahnya seperti penasaran dan senang yang bercampur menjadi satu.

"Jangan bang, itu gak sopan!" Tegasku
Bang Fad tanpa mempedulikan ucapanku langsung main cucuk masuk ke dalam pintu tersebut, mau tidak mau aku harus mengikutinya.

"Bang!" Teriakku.

   Setelah masuk, kamipun berada di sebuah lapangan, ya setidaknya tampak seperti lapangan kosong, yang sangat luas, tapi diujung mata kami, yang jaraknya kira-kira 70 meter, ada sebuah pintu yang sama dengan pintu tadi, ah ngomong apa aku ini..

"Bang kita harus kembali ke mobil sekarang" ucapku untuk yang kedua
kalinya, sambil membalikkan badan

....

....

dan mendapati pintu tadi sudah tidak ada.

Parallel (1) : Keluarga Kami

   Hari ini kami akan mengunjungi rumah nenek, rumah nenek memakan 5 jam perjalanan melalui mobil dari tempat kami, aku, ayah, ibu, abang dan adikku ikut, kami sekeluarga ikut semua. Jam menunjukkan tepat pukul 2 pagi, sebenarnya aku tidak ingin ikut karena temanku, teman dekat, akan kesini 2 hari lagi, namanya Rian, kami itu teman semenjak TK, dan SMP, lalu kemudian Rian memutuskan untuk mengikuti ayahnya yang pindah ke Jakarta, Ayah dan Ibu Rian bercerai 7 tahun yang lalu, sedangkan ibunya tetap disini, kami sudah tidak pernah tatap muka kurang lebih, ya sekitar 5 tahun, tapi tetap saling mentionan di twitter heheh, makanya itu aku sebenarnya malas sekali untuk ikut, tapi karena satu keluarga ikut semua yaa apa boleh buat, ga mungkin dong aku dirumah sendirian, selama 2 minggu!
   Dan barang-barang pun sudah kami kemas, aku sebagai anak ke dua dari tiga bersaudara cukup sering menjadi tulang punggung keluarga, dari mencuci, menyapu, bahkan kadang memasak, abangku, Bang Fad, adalah orang yang sangat pemalas, meski demikian, ia orang yang boleh di akui kecerdasannya, Bang Fad merupakan murid terpintar di Kampusnya, iya kampusnya bukan fakultasnya, Bang Fad merupakan orang yang bisa diandalkan jika tidak ada pilihan, aku dan bang Fad beda 4 tahun, sedangkan adikku, Vivi, yang masih menduduki bangku SMP, merupakan cewek yang penurut, dan tidak banyak bicara, tidak pintar, tetapi juga tidak bodoh, biasa-biasa saja, kami berjarak 6 tahun.

"Gugus, kamu angkat barang-barang abangmu cepat ke mobil" kata ayah kepadaku.

Akupun bersedia, sudah memaklumi saja setiap pergi jauh aku selalu mengangkat barang-barang abangku, ya tapi aku juga tidak keberatan kok.

"Fadal, ayo keluar, udah jam berapa ini!?" Bang Fad memang geraknya paling lambat dan hanya itu yang ngeselin dari dia menurut aku, sampai Ayah harus berteriak begitu.

Dan akhirnya naiklah kami semua ke mobil, aku di kursi paling belakang, sedangkan Ibu dan Vivi ditengah, Ayah dan Bang Fad di depan.

"Baca doa dulu masing-masing dalam hati"

Ayah memang selalu menyuruh untuk membaca Doa sebelum pergi jauh. Setelah selesai berdoa, Ayah menghidupkan mobil kami, Innova Hitam kami, dan mulai menginjak gasnya..