Jumat, 11 Desember 2015

Dunia Dalam Jurang 27



“Jangan main-main dengan benda itu, nak” kata Haari di depan.
   Aaron tidak menghiraukannya, tetap asik dengan pedangnya, ‘ayolah’, pikirannya mulai berfantasi, berharap akan ada seekor monster yang datang menyerang mereka dalam perjalanan  kembali kerumah, tentu saja, tidak ada monster, sebaliknya, mereka akan takut mendengar langkah seekor kuda hantu yang tubuhnya tidak ditemukan dalam kegelapan malam.
   Akhirnya sampailah mereka di depan rumah sang kakek, Haari segera turun dan berjalan mendekati pintu depan rumah sang kakek.
   “Pintunya, terbuka” kata Haari sambil perlahan-lahan mendekatinya.
   Aaron tetap di atas kuda itu, “Ada di dalam?” tanyanya.
   Haari menoleh kepada Aaron, lalu menggelengkan kepalanya dengan sangat perlahan, Aaron segera turun dari kudanya, memegang senjatanya seperti sudah siap bertarung, dari caranya berjalan, tampak sekali bahwa ia menghayati fantasinya, tak menyangka imajinasinya akan menjadi kenyataan kali ini.
   “Mana mereka?” tanya Aaron dengan membusungkan dadanya, kali ini penghayatannya sudah kelewat batas.
   Tepat setelah Aaron bertanya seperti itu, sekumpulan kalelawar yang asalnya dari atas terbang ke arah mereka dengan gerakan spiral.
   “Aaron!Membungkuk!” teriak Haari.
   Aaron membungkukkan badannya, sehingga Haari bisa melihat bahwa kalelawar itu kini bergerak ke arahnya, iapun memidikkan senapannya segera, “DAR!” sebuah peluru panas mengenai sekumpulan kalelawar itu, lalu kalelawar-kalelawar itu memencar, Aaron menegakkan badannya kembali, mengangkat pedangnya dengan tangan kanannya.
   “Ayo, lawan aku!” gertak Aaron.
   “Tetap waspada Aaron” kata Haari yang melihat ke atas ke segala arah.
   Haari membelalakkan matanya, tampaknya ia menyadari sesuatu, “Wa..warakang?” bisiknya.
   Aaron mendengar desisan Haari itu, “Apa?” tanyanya.
  Haari menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menatap ke arah Aaron, Aaron mengangkat kedua bahunya, lalu meliat kembali ke langit.
  “Waa..rakang” bisik Haari seakali lagi.
   “Haari, ada seseorang di dalam” kata Haari dengan nafas yang berat.
   Haari menoleh ke dalam rumah sang kakek, ketiga orang bermantel hitam yang sebelumnya ia temui, kini berdiri 3 meter di depannya.
   “Kalian, warakang?” tanya Haari dengan nada yang pelan.
   Mereka bertiga langsung mengarahkan kedua tangan mereka ke Haari, sehingga Haari terlempar jauh ke belakang, terbentur oleh anak tangga rumah pohonnya.
  “Haari!” teriak Aaron, lalu ia berlari ke dalam rumah sang kakek dengan memegang erat pedang di tangan kanannya.
   Langsung saja Aaron menebas seseorang yang berada di tengah, namun sama seperti sebelumnya, mereka bertiga berubah menjadi kalelawar dan terbang ke luar rumah itu dengan gerakan spiral, Aaron mengejarnya, “Kemari Kau!” teriaknya.
   Haari yang masih kesakitan akibat terbentur anak tangga itu segera melihat ke depan, sekumpulan kalelawar itu terbang mendekatinya, spontan ia pun mengayunkan senapannya ke arah mereka, ketika pisau di ujung senapan Haari mengenai kalelawar itu, mereka pun kembali berpencar, setelah itu bersatu lagi dan terbang ke arah rumah pohon.
   Aaron yang sedang berlari langsung menaiki anak tangga segera ketika ia melihat sekumpulan kalelawar itu terbang kesana.
   “Aaron! Jangan!” teriak Haari sambil mengarahkan tangannya seolah-olah ingin meraih Aaron.
   Sekumpulan kalelawar itu menabrak pintu rumah pohon tersebut sehingga pintu itu terbuka, Aaron yang sudah sampai di ambang pintu tanpa ragu-ragu langsung memasukinya.
  “Mati, mati!” Haari berkata dengan nada menyesal, memejamkan matanya, seperti menyesal walaupun sesuatu yang buruk belum terjadi.
   “AAAKH!” Teriakan Aaron terdengar oleh Haari, lalu Haaripun segera menyusulnya.
   “Akh, mereka hilang!” kata Aaron ketika mellihat Haari yang baru kepalanya saja tampak di depan pintu.
   “Apa yang terakhir kali kau lihat?” tanya Haari sambil menaikkan seluruh badannya ke dalam rumah itu.
   “Aku hanya melihat satu orang saja, pakaian persis seperti yang kita lihat sebelumnya, tapi hanya satu orang” jawab Aaron.
   “Lalu?” lanjut Haari, yang sepertinya ingin mengetahui lebih banyak karena ia tahu sesuatu jika Aaron menjawab dengan benar.
   “Aku melihat..” Aaron berhenti di tengah-tengah, “melihat dia berada di belakang mu” lanjut Aaron dengan pelan/
   Aaron berguling ke depan, lalu membalikkan badannya sehingga ia bisa melihat apa yang ada di depan pintu itu.
   “Apa yang kau lihat?”tanya Haari ketika ia tidak melihat apa-apa.
   “Tetap melihat ke depan Haari” jawab Aaron dengan nada yang sedikit berat.
   Haari bersiap-siap menarik pelatuknya, begitu juga dengan Aaron yang menggenggam erat-erat gagang pedangnya itu.
   Tiba-tiba terdengar suara pintu terbanting dengan keras, Haari terkejut lalu tidak sengaja melepaskan tembakannya, Aaron mendahuluinya untuk segera melihat dari ambang pintu.
  “Apa sang kakek sudah pulang?” tanya Aaron ketika ia melihat dari pintu rumah pohon itu, bahwa pintu sang kakek yang tadinya terbuka kini tertutup.
  “Pulang dari mana?” tanya Haari yang masih pada posisinya.
   Aaron tidak menjawab pertanyaannya, ia segera turun, Haari pun mengikutinya. Ketika sudah tiba di bawah, mereka berdua berlari ke pintu sang kakek itu.
  “Dug Dug Dug” Aaron menggedor pintu itu dengan keras.
  “Kek? Kek?” kata Aaron sambil terus menggedor pintu itu.
  Haari menjaga Aaron dari belakang, melihat ke sekeliling,benar-benar cemas, sebab dia tidak pernah mengalami ini sebelumnya, tidak ada hal aneh yang terjadi selama 1 bulan ia tinggal bersama Aaron dan sang kakek, dia sebenarnya mengerti dengan apa yang sedang terjadi, tetapi ia tidak pernah benar-benar berada di dalam situasi seperti ini,mengingat ia selalu menjauhi apa yang namanya tidak kedengaran selucu ketika kita menyebutkannya, Warakang.

Dunia Dalam Jurang 26



   Haari kini mulai kalut, kebingungan dengan pertanyaan mengapa Aaron seperti ini, siapa ketiga orang tadi, dan dimana sang kakek, semuanya berlomba-lomba dalam pikirannya untuk di jawab terlebih dahulu, Haari, yang masih memegang pundak Aaron, melihat dari kiri ke kanan, lalu sebaliknya, secara perlahan-lahan, seakan bertanya sekaligus mencari tahu, ‘apa lagi setelah ini?’ gumamnya dalam hati.
   “Aaron! Bicaralah, kenapa denganmu!” Haari menggoyang-goyang badan Aaron, seakan sedang mengeluarkan sisa recehan dalam celengan ayam.
   Aaron masih menatap kosong ke depan, lalu perlahan-lahan ia memegang tangan Haari yang masih menempel di pundaknya.
   “Apa...apa yang, mereka..lakukan?” kata Aaron, perlahan-lahan tatapannya yang kosong kini kembali ‘hidup’.
   “Aku tidak tahu, ayolah nak” Haari melepas tangannya perlahan-lahan dari pundak Aaron.
   “Sang kakek tidak ada” lanjut Haari.
   Aaron tampaknya mulai sadar, lalu memejamkan matanya dengan kuat, membukanya kembali, lalu memejamkannya, membukanya kembali.
   Tiba-tiba terdengar langkah sepatu kulit yang berjalan di atas rumput, datang dari gang kecil di sebelah kanan rumah sang kakek yang menghubungkannya ke tempat mereka mengikat kuda.
   “Kau..darimana?” tanya Aaron kepada yang ternyata adalah sang kakek, nadanya sedikit marah.
   “Aku tidur di dekat kuda baruku” jawab sang kakek, lalu tersenyum lebar ke arah mereka, senyumannya lebih mencurigakan dari semua yang telah terjadi, lalu ia berjalan melintasi mereka berdua menuju ke dalam rumahnya.
   Mereka hanya memandangi sang kakek yang berjalan masuk kedalam rumahnya, lalu menutup pintu, lampu dalamnya tetap menyala, mereka berdua masih bingung, saling melihat satu sama lain, lalu melihat lagi ke pintu yang sudah tertutup itu.
   Haari sebenarnya sedikit sudah tau tentang si kakek, tetapi yang ini benar-benar membuatnya bingung, ‘apakah si kakek..ah’ pikiran Haari, ‘tidak mungkin, tidak mungkin’ suara-suara berbicara dalam kepalanya.
   “Sudah jam berapa?” tanya Aaron.
   Haari mengeluarkan jamnya dari kantong celana, “sudah jam sembilan” jawabnya, lalu memasukkan jam itu kembali.
   Haari berjalan ke gang di sebelah rumah sang kakek, Aaron mengikut disampingnya,
   “Mengapa ia lebih memilih tidur dengan kudanya?” tanya Haari dalam hatinya.
   Mereka pun tiba di belakang rumah sang kakek, melihat kedua kuda yang baru saja di beli tadi sedang tegak, masih pada posisinya, bergerak-gerak sedikit, setelah memastikan tidak ada sesuatu yang aneh, mereka berdua kembali lagi ke depan.
   “Aku sebenarnya menyangka bahwa tempat ini aman, karena tidak ada makhluk-makhluk besar selama aku tinggal disini” kata Haari kepada Aaron di sela-sela perjalanan.
   “Lalu kau mengira mereka siapa? Mereka bukan makhluk bertubuh besar” jawab Aaron yang berjalan disampingnya.
   Mulut Haari terbuka sedikit, seakan ingin mengatakan sesuatu, namun ia menutupnya kembali, tentu saja, ada yang tidak ingin Haari katakan kepada Aaron.
   “Kita ke pasar saja malam ini” kata Haari, lalu berputar arah menuju ke belakang lagi, kepalanya menunduk seakan sedang berpikir keras, jelas kali benar-benar ada sesuatu yang dirasa ganjil olehnya.
   Aaron hanya melihatnya berjalan ke belakang, mereka masih di gang itu, “Aku tunggu di depan” katanya.
   Sambil berjalan, Aaron melihat sekali lagi ke belakang, Haari sudah tidak tampak, lalu ia kembali berjalan.

   “Mengapa kita ke pasar?Bukankah kau bilang kau tidak akan berjualan malam ini?” tanya Aaron ketika Haari menghampirinya yang sedang duduk di jenjang kecil rumah sang kakek, menunggangi kuda yang hampir tidak keliatan di malam hari itu.
   Haari tidak menjawab, Aaron lalu menaiki kuda itu, duduk di belakang Haari.
   “Nggiiik” si kuda bersuara ketika Haari menarik kedua tali yang diikat dimulut kuda itu, lalu kuda itu berlari secepat Macan melewati jalan yang sepanjang jalan itu di tumbuhi pohon-pohon disisi-sisinya.
   Kuda itu berlari sangat cepat, tubuh mereka berdua terhentak-hentak oleh gerakan lari sang kuda itu, hanya membutuhkan waktu kurang dari 5 menit untuk sampai di pasar.
   “Kita cari saja segera pedang untukmu” kata Haari, ia turun dari kuda itu, lalu menarik talinya, mengikuti Haari yang membawanya menjelajahi pasar.
   “Akhir-akhir ini tingkahmu aneh” kata Aaron yang masih berada di atas kuda.
   Haari tidak menghiraukannya, dia menghampiri salah satu penjual yang menjual berbagai senjata, dari senapan yang tampaknya sudah tidak bisa di pakai lagi, sampai sebilah pedang yang berkilau-kilau.
   “Pilihlah” kata Haari sambil melihat ke Aaron yang masih berada di atas kudanya.
   Aaron turun, lalu memegang-megang beberapa senjata yang tersedia di depan meja sang penjual, lalu ia mengangkat salah satu pedang, yang bergagang kayu berwarna coklat kehitaman, terukir gambar-gambar, yang tampaknya adalah gambar kepala kucing bertaring panjang, Aaron membalik-balikkan pedang itu ke kiri dan ke kanan.
   “Yang ini keliatan bagus” kata Aaron sambil terus membalikkan pedang itu, seakan-akan mengerti tentang senjata, “persis seperti yang ada dipikiranku” lanjutnya.
   “Oke, berapa?” tanya Haari kepada sang penjual sambil mengeluarkan dompet kulit dari kantongnya.
   “3000 Rai” jawab penjual itu.
   Haari menghitung-hitung lembaran kertas itu di dalam dompetnya, Aaron tidak menyangka bahwa Haari mempunyai uang yang sangat banyak, Haari bahkan tidak pernah mengeluarkan dompetnya, di depan Aaron.
   Setelah selesai membeli pedang itu, Haari dan Aaron mengucapkan terima kasih kepada si penjual, Haari kemudian menarik kuda itu, tampaknya ia ingin membeli sesuatu lagi, Aaron mengikutinya sambil mengayun-ngayunkan pedang barunya ke udara, tampaknya ia senang sekali.
   “Hmm, tapi aku butuh tali yang kuat” kata Aaron.
   “Buat apa?” jawab Haari cuek sambil tetap menarik kuda hitam itu, melihat-lihat para penjual di pasar itu, mencari sampai dia menemukan satu yang pas dengan tujuannya.
   “Jika aku melempar pedang ini ke seekor monster, aku harus berlari ke arahnya untuk mendapatkan pedangku kembali” jawab Aaron, lalu ia melanjutkan “Tetapi jika pedang ini diikat dengan sesuatu yang kuat, cukup saja tidak cukup, harus sangat kuat, aku bisa menarik kembali pedang ini ketika aku melemparnya”.
   Haari melihat ke arahnya, ia takjub walaupun wajahnya berusaha menyembunyikan hal itu, “Bagus juga, oke kita cari” katanya.
   Merekapun berjalan mengelilingi pasar itu, sambil tetap menarik kuda hitam yang sebenarnya tidak kelihatan jika ada orang tua melihat ke arah mereka, berjalan dari satu kios ke kios lain, setelah berjalan lebih dari 7 kios, tiba-tiba ada suara yang tampaknya memanggil mereka.
  “Hey, Hey, Aaron!” teriak penjual itu, kiosnya terletak 4 kios dari posisi Aaron dan Haari sekarang.
   Mereka pun berusaha mengenali penjual itu dari jauh, terutama Aaron, akhirnya merekapun berjalan ke arahnya.
  “Praba...wa?” tanya Aaron ragu ketika mereka tiba di kios penjual itu.
   “Iya, ini aku, aku baru sampai ke daerah ini tadi sore, setelah malam ropen melintas itu, aku pergi keluar kota selama beberapa minggu” katanya.
   “Prabawa, aku ingin..” Haari belum sempat menyelesaikan kata-katanya.
   “Diam dulu kau, makhluk besar!” Prabawa melihat ke arah Haari, lalu kembali mengarahkan wajahnya ke Aaron, “Apa yang kau cari?” tanyanya.
   “Sebuah tali yang panjang, hmm, yang pastinya kuat, minimal masih kuat ketika aku menarik seekor ropen” jawabnya.
   Prabawa jongkok sebentar, mencari sesuatu di bawah meja jualannya, lalu berdiri kembali sambil memegang sebuah tali berwarna coklat, sudah lama dipakai sepertinya, dan keliatannya adalah, tali tambang.
   “Ini adalah tali yang sangat kuat, kau bisa mengambilnya, ini hmmm, 20 meter, ya 20 meter” kata Prabawa sambil mencari ujung tali yang satunya ketika tangan kanannya memegang salah satu ujung tali tersebut.
   Sekarang Aaron punya tali untuk senjata barunya, sementara Haari sedang melakukan transaksi sambil mengobrol-ngobrol dengan Prabawa, Aaron pergi ke balik kuda sehingga Haari tidak bisa melihat wajahnya, menyimpan pedangnya di sarung yang diberikan secara gratis oleh penjualnya, lalu melihat-lihat tali itu seperti meneliti apakah talinya cukup kuat, dirabanya tali itu dengan perasaan.
   “Biar aku yang simpan itu, ron” kata Haari menghampiri Aaron yang berada dibalik kuda.
   Haari lalu meletakkan tali itu di dalam kantongnya, sudah jelas kantong Haari lebih besar dari punyanya Aaron.
   “Oke terima kasih Prabawa, kita bertemu lain waktu, aku akan jarang-jarang kesini” kata Haari sambil melambaikan tangan ke arah Prabawa, lalu menaiki kuda yang hampir tidak terlihat itu, begitu juga dengan Aaron yang mengambil posisi dibelakangnya.
   “Tidak apa-apa, senang bertemu denganmu Haari, Aaron” jawabnya sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah mereka yang telah bergerak menjauhi kiosnya.
   Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, tetapi tidak seperti pergi ke pasar itu, Haari mengatur kuda hitam itu agar berjalan lebih pelan, Aaron yang berada di belakangnya dari tadi memain-mainkan pedang barunya, mengayunkannya ke kanan ke kiri, ke atas dan kebawah, ke segala arah, berkhayal seolah-olah ia sedang bertarung dengan seekor monster.

Selasa, 08 Desember 2015

Dunia Dalam Jurang 25



  

sumber : http://8020.photos.jpgmag.com/3110571_221860_32c9667cb4_p.jpg

 Akhirnya mereka bertiga sampai kerumah sebelum malam tiba, dua kuda yang baru saja menjadi milik mereka itu terbukti memang sangat baik, terlebih punya sang kakek.
   “Taruh saja kuda ini dibelakang rumah ku” kata sang kakek sambil mengarahkan kudanya menuju ke belakang rumahnya lewat kiri dari luar rumahnya.
   “Belakang?” tanya Aaron, lalu Haari menunggangi kuda itu mengikuti sang kakek.
   Setibanya di belakang rumah sang kakek, Aaron dan Haari kaget bukan kepalang, ternyata terdapat halaman yang sangat luas berada di belakang rumah tua itu, luasnya sama dengan lapangan bola, mereka berdua tidak pernah tau, karena sang kakek tidak pernah ke belakang rumahnya, dan mereka pun tidak pernah penasaran dengan belakang rumah itu, di ruangan belakang rumah sang kakek memang terdapat jendela, namun kacanya terlalu suram sehingga tidak bisa melihat apa yang ada di luar, lagipula, kaca itu sering ditutup oleh tirai berwarna coklat.
   “Kau tidak pernah mengatakannya kepada kami” kata Aaron.
   “Aku juga hampir tidak pernah kesini, seingatku hanya sekali ketika aku baru saja menemukan rumah ini” jawab sang kakek yang kemudian turun dari kudanya, menariknya sampai di sebuah pohon besar, lalu mengikatnya disana, hanya ada 4 pohon disana, sisanya padang rumput, persis sekali seperti lapangan bola, entah apa yang sebelumnya pernah terjadi di tempat itu.
   “Wah wah ini bisa kita jadikan sebuah kota, atau tempat pertahanan, barangkali kita bisa membuat tempat pertahanan paling kuat di dunia ini” kata Haari, lalu bersama Aaron ia turun dari kuda hitam itu, menariknya ke pohon yang satu lagi disebelah kuda sang kakek, lalu mengikatnya disana.
   “Aku juga baru 4 bulan disini, kita bisa memikirkan apa nanti yang akan kita buat di tempat ini” jawab sang kakek yang kemudian pergi ke arah depan rumahnya, begitu pula Aaron dan Haari.
   “Jadi malam ini kau tidak ke pasar?” tanya sang kakek ketika sudah berada di depan rumahnya.
   “Tidak, aku akan lebih fokus untuk membangun beberapa rumah pohon lagi untuk disewakan” jawab Haari.
   Si kakek hanya mengangguk-ngangguk sambil masuk ke dalam rumahnya.
   “Dimana kau akan mencari kayu lagi?” tanya Aaron.
   “Ya mungkin di danau itu lagi” jawab Haari sambil berjalan ke rumah pohon.

   Akhirnya malam pun tiba, cahaya bulan pertanda bahwa para monster-monster malam siap melakukan aktifitasnya, Haari tidak berjualan ke pasar, sebaliknya, ia dan Aaron bersantai untuk menikmati malam di depan pintu rumah pohon itu.
   “Kenapa pintunya ditutup?” tanya Aaron sambil melihat ke arah pintu rumah sang kakek yang tertutup, lampu dalamnya hidup terlihat dari jendelanya.
   “Mungkin dia sedang mengerjakan sesuatu” jawab Haari santai.
   Aaron memiringkan kepalanya sedikit, seakan berpikir sesuatu, “apakah sang kakek sudah tidur duluan? Tidak, lampunya masih hidup” katanya.
   “Aku tahu kalian membicarakan ku di atas sana, nak!” teriak sang kakek dari dalam rumahnya.
   Aaron menatap ke arah Haari, lalu menaikkan kedua bahunya seakan tidak merasa bersalah.
   “Badri itu seseorang yang, ya walaupun dibilang sudah cukup tua untuk mati,dia masih menyimpan banyak rahasia” Haari mengatakan hal itu kepada Aaron, perkataannya seperti hanya satu pola saja ketika Aaron bertanya atau bercerita tentang sang kakek.
   Aaron mengenyitkan dahinya, lalu menggelengkan kepalanya sekali, setelah itu kembali menatap langit.
   “Apakah kau mendengarnya?” tanya Haari dengan suara yang pelan, seakan sedang menceritakan kisah horror kepada anak kecil.
   “Mendengarkan apa? Apa maksudmu?” Aaron bertanya balik.
   Setelah itu mereka berdua diam, berfokus pada pendengaran mereka,
   “WUFF WUFF, WUFF WUFF” terdengar suara seperti entelodon yang sedang mengendus-ngendus bangkai dari bawah rumah pohon itu.
   “Ssst” Haari mengacungkan jari telunjuknya, menyuruh agar Aaron tidak berbicara.
   Mereka lalu masuk ke dalam rumah pohon itu dengan cepat, “biar aku yang intip” kata Haari sambil mengeluarkan kepalanya secara perlahan-lahan ke luar rumah pohon itu sambil melihat apa yang ada di bawahnya.
  “Senjataku, ambil senjataku” bisik Haari sambil ia mengulurkan tangannya kepada Aaron.
   Aaron langsung mencari senapan di dalam tas Haari, agak lama ia mencarinya sehingga Haaripun masuk ke dalam rumah itu untuk mencari sendiri.
  “Ada apa?” tanya Aaron pelan.
   Tiga orang dalam kegelapan berada di bawah rumah pohon itu, Haari sudah tidak tahan dengan senapannya, ingin mengeluarkan sebuah peluru panas untuk mendarat di kepala tiga orang itu, alih-alih menarik pelatuknya, ia lebih memilih memegang erat-erat benda yang biasa di elus-elusnya itu, Haari mengintip sekali lagi, menajamkan pandangannya agar bisa melihat sejelas yang ia bisa, ketiga orang itu tidak membawa apapun, kecuali mantel yang mereka kenakan, menutup tubuh mereka dari kepala sampai kaki, wajah mereka dibiarkan tetap terbuka, sehingga mata mereka yang berwarna merah menyala itu keliatan dari atas rumah itu.
   “Siapa mereka sebenarnya?” Haari bertanya lebih kepada dirinya alih-alih kepada Aaron.
   Mereka bertiga berjalan ke depan pintu rumah sang kakek, tampaknya tidak sadar bahwa ada makhluk bertubuh besar yang dari tadi mengintai gerak-gerik mereka, Haari memasukkan kepalanya kembali, karena mereka bertiga bisa melihat Haari jika saja mereka menoleh ke belakang.
   “WUFF WUFF” Sekali lagi, terdengar suara entelodon yang mengendus bangkai rusa betina yang mati bersama anaknya.
   “Sedang apa mereka?” bisik Haari kepada dirinya, tidak bisa melihat ke depan pintu.
   “Jangan, aku belum pernah melihat mereka” Haari menahan tubuh Aaron yang baru saja hendak merangkak menuju pintu.
   Haari mengangkat tubuhnya sedikit, berusaha untuk melihat mereka sebisa mungkin. Salah seorang dari mereka yang berada di tengah, mengangkat kedua tangannya ke atas, Haari mengangkat tubuhnya lebih tinggi lagi, kuku jari mereka seperti taring mngwa, Haari sudah siap dengan senapannya, seolah jika mereka melakukan setidaknya lebih dari satu gerekan lagi, pemburu bertubuh besar itu akan menghujamkan peluru panas di kepala mereka masing-masing.
   “Mereka...mereka” bisik Haari sambil menoleh ke Aaron, yang menatapnya dengan wajah kaku seolah-olah sedang berusaha untuk tenang meskipun hatinya penuh rasa cemas.
   Haari berbalik, secepat ia berbalik secepat itu ia segera berdiri dan bergerak cepat ke arah tangga, Aaron langsung mengikutinya dengan gerakan yang hati-hati, ketika Haari sudah berada di bawah Aaron baru tiba di ambang pintu, raut wajahnya kini berubah, meledakkan seluruh rasa takut yang sedari tadi dipendamnya, ketika ia melihat, pintu rumah sang kakek terbuka, sehingga cahaya dari dalam rumah tersebut menerangi beberapa meter ke depan. Aaron segera menyusul Haari.
   “Apa...yang terjadi, Haari?” Aaron tertatih-tatih ketika ia berada di belakang Haari.
   Haari tidak menjawab, secara perlahan ia mendekat ke pintu rumah sang kakek, Aaron mengikutinya dari belakang.
   “Kemana mereka?” Haari kaget ketika melihat tidak ada seorang pun di dalam rumah tersebut, tidak mereka bertiga, tidak sang kakek.
   “Lihat ke sekelilingmu” perintah Haari kepada Aaron yang berada di belakangnya, tetapi matanya masih melihat ke dalam ruangan rumah itu.
   “Haari” Aaron bicara dengan nada datar.
   Haari membalikkan badannya dengan cepat, sehingga ia melihat Aaron membelakanginya, juga melihat ketiga orang tadi berada di depan Aaron.
  “DAR!” Tanpa pikir panjang Haari menarik pelatuknya, peluru panas dari senapan cantiknya mengenai salah satu kepala dari mereka yang berada di sebelah kiri Haari.
   Spontan setelah tembakan itu, ketiga orang tadi berubah menjadi sekumpulan kelelawar yang mengeluarkan suara ‘cittt-cittt-cittt”, terbang ke atas melalui gerakan melingkar-lingkar.
   “Kenapa kau diam saja?” tanya Haari, namun Aaron tidak menjawab, berdiri kaku tidak merubah posisinya sedikitpun.
  Haari berlari ke arah Aaron, memegang kedua bahu Aaron dengan sepasang tangannya yang besar itu, lalu membalikkan tubuh Aaron sehingga menghadap kepadanya, seketika raut wajah Haari berubah, keringat dingin mulai keluar dari keningnya.
  “Aaron...” bisiknya dengan suara yang terputus-putus, ketika ia melihat Aaron menatap kosong ke depan, tetapi bukan menatapnya.