Selasa, 08 Desember 2015

Dunia Dalam Jurang 25



  

sumber : http://8020.photos.jpgmag.com/3110571_221860_32c9667cb4_p.jpg

 Akhirnya mereka bertiga sampai kerumah sebelum malam tiba, dua kuda yang baru saja menjadi milik mereka itu terbukti memang sangat baik, terlebih punya sang kakek.
   “Taruh saja kuda ini dibelakang rumah ku” kata sang kakek sambil mengarahkan kudanya menuju ke belakang rumahnya lewat kiri dari luar rumahnya.
   “Belakang?” tanya Aaron, lalu Haari menunggangi kuda itu mengikuti sang kakek.
   Setibanya di belakang rumah sang kakek, Aaron dan Haari kaget bukan kepalang, ternyata terdapat halaman yang sangat luas berada di belakang rumah tua itu, luasnya sama dengan lapangan bola, mereka berdua tidak pernah tau, karena sang kakek tidak pernah ke belakang rumahnya, dan mereka pun tidak pernah penasaran dengan belakang rumah itu, di ruangan belakang rumah sang kakek memang terdapat jendela, namun kacanya terlalu suram sehingga tidak bisa melihat apa yang ada di luar, lagipula, kaca itu sering ditutup oleh tirai berwarna coklat.
   “Kau tidak pernah mengatakannya kepada kami” kata Aaron.
   “Aku juga hampir tidak pernah kesini, seingatku hanya sekali ketika aku baru saja menemukan rumah ini” jawab sang kakek yang kemudian turun dari kudanya, menariknya sampai di sebuah pohon besar, lalu mengikatnya disana, hanya ada 4 pohon disana, sisanya padang rumput, persis sekali seperti lapangan bola, entah apa yang sebelumnya pernah terjadi di tempat itu.
   “Wah wah ini bisa kita jadikan sebuah kota, atau tempat pertahanan, barangkali kita bisa membuat tempat pertahanan paling kuat di dunia ini” kata Haari, lalu bersama Aaron ia turun dari kuda hitam itu, menariknya ke pohon yang satu lagi disebelah kuda sang kakek, lalu mengikatnya disana.
   “Aku juga baru 4 bulan disini, kita bisa memikirkan apa nanti yang akan kita buat di tempat ini” jawab sang kakek yang kemudian pergi ke arah depan rumahnya, begitu pula Aaron dan Haari.
   “Jadi malam ini kau tidak ke pasar?” tanya sang kakek ketika sudah berada di depan rumahnya.
   “Tidak, aku akan lebih fokus untuk membangun beberapa rumah pohon lagi untuk disewakan” jawab Haari.
   Si kakek hanya mengangguk-ngangguk sambil masuk ke dalam rumahnya.
   “Dimana kau akan mencari kayu lagi?” tanya Aaron.
   “Ya mungkin di danau itu lagi” jawab Haari sambil berjalan ke rumah pohon.

   Akhirnya malam pun tiba, cahaya bulan pertanda bahwa para monster-monster malam siap melakukan aktifitasnya, Haari tidak berjualan ke pasar, sebaliknya, ia dan Aaron bersantai untuk menikmati malam di depan pintu rumah pohon itu.
   “Kenapa pintunya ditutup?” tanya Aaron sambil melihat ke arah pintu rumah sang kakek yang tertutup, lampu dalamnya hidup terlihat dari jendelanya.
   “Mungkin dia sedang mengerjakan sesuatu” jawab Haari santai.
   Aaron memiringkan kepalanya sedikit, seakan berpikir sesuatu, “apakah sang kakek sudah tidur duluan? Tidak, lampunya masih hidup” katanya.
   “Aku tahu kalian membicarakan ku di atas sana, nak!” teriak sang kakek dari dalam rumahnya.
   Aaron menatap ke arah Haari, lalu menaikkan kedua bahunya seakan tidak merasa bersalah.
   “Badri itu seseorang yang, ya walaupun dibilang sudah cukup tua untuk mati,dia masih menyimpan banyak rahasia” Haari mengatakan hal itu kepada Aaron, perkataannya seperti hanya satu pola saja ketika Aaron bertanya atau bercerita tentang sang kakek.
   Aaron mengenyitkan dahinya, lalu menggelengkan kepalanya sekali, setelah itu kembali menatap langit.
   “Apakah kau mendengarnya?” tanya Haari dengan suara yang pelan, seakan sedang menceritakan kisah horror kepada anak kecil.
   “Mendengarkan apa? Apa maksudmu?” Aaron bertanya balik.
   Setelah itu mereka berdua diam, berfokus pada pendengaran mereka,
   “WUFF WUFF, WUFF WUFF” terdengar suara seperti entelodon yang sedang mengendus-ngendus bangkai dari bawah rumah pohon itu.
   “Ssst” Haari mengacungkan jari telunjuknya, menyuruh agar Aaron tidak berbicara.
   Mereka lalu masuk ke dalam rumah pohon itu dengan cepat, “biar aku yang intip” kata Haari sambil mengeluarkan kepalanya secara perlahan-lahan ke luar rumah pohon itu sambil melihat apa yang ada di bawahnya.
  “Senjataku, ambil senjataku” bisik Haari sambil ia mengulurkan tangannya kepada Aaron.
   Aaron langsung mencari senapan di dalam tas Haari, agak lama ia mencarinya sehingga Haaripun masuk ke dalam rumah itu untuk mencari sendiri.
  “Ada apa?” tanya Aaron pelan.
   Tiga orang dalam kegelapan berada di bawah rumah pohon itu, Haari sudah tidak tahan dengan senapannya, ingin mengeluarkan sebuah peluru panas untuk mendarat di kepala tiga orang itu, alih-alih menarik pelatuknya, ia lebih memilih memegang erat-erat benda yang biasa di elus-elusnya itu, Haari mengintip sekali lagi, menajamkan pandangannya agar bisa melihat sejelas yang ia bisa, ketiga orang itu tidak membawa apapun, kecuali mantel yang mereka kenakan, menutup tubuh mereka dari kepala sampai kaki, wajah mereka dibiarkan tetap terbuka, sehingga mata mereka yang berwarna merah menyala itu keliatan dari atas rumah itu.
   “Siapa mereka sebenarnya?” Haari bertanya lebih kepada dirinya alih-alih kepada Aaron.
   Mereka bertiga berjalan ke depan pintu rumah sang kakek, tampaknya tidak sadar bahwa ada makhluk bertubuh besar yang dari tadi mengintai gerak-gerik mereka, Haari memasukkan kepalanya kembali, karena mereka bertiga bisa melihat Haari jika saja mereka menoleh ke belakang.
   “WUFF WUFF” Sekali lagi, terdengar suara entelodon yang mengendus bangkai rusa betina yang mati bersama anaknya.
   “Sedang apa mereka?” bisik Haari kepada dirinya, tidak bisa melihat ke depan pintu.
   “Jangan, aku belum pernah melihat mereka” Haari menahan tubuh Aaron yang baru saja hendak merangkak menuju pintu.
   Haari mengangkat tubuhnya sedikit, berusaha untuk melihat mereka sebisa mungkin. Salah seorang dari mereka yang berada di tengah, mengangkat kedua tangannya ke atas, Haari mengangkat tubuhnya lebih tinggi lagi, kuku jari mereka seperti taring mngwa, Haari sudah siap dengan senapannya, seolah jika mereka melakukan setidaknya lebih dari satu gerekan lagi, pemburu bertubuh besar itu akan menghujamkan peluru panas di kepala mereka masing-masing.
   “Mereka...mereka” bisik Haari sambil menoleh ke Aaron, yang menatapnya dengan wajah kaku seolah-olah sedang berusaha untuk tenang meskipun hatinya penuh rasa cemas.
   Haari berbalik, secepat ia berbalik secepat itu ia segera berdiri dan bergerak cepat ke arah tangga, Aaron langsung mengikutinya dengan gerakan yang hati-hati, ketika Haari sudah berada di bawah Aaron baru tiba di ambang pintu, raut wajahnya kini berubah, meledakkan seluruh rasa takut yang sedari tadi dipendamnya, ketika ia melihat, pintu rumah sang kakek terbuka, sehingga cahaya dari dalam rumah tersebut menerangi beberapa meter ke depan. Aaron segera menyusul Haari.
   “Apa...yang terjadi, Haari?” Aaron tertatih-tatih ketika ia berada di belakang Haari.
   Haari tidak menjawab, secara perlahan ia mendekat ke pintu rumah sang kakek, Aaron mengikutinya dari belakang.
   “Kemana mereka?” Haari kaget ketika melihat tidak ada seorang pun di dalam rumah tersebut, tidak mereka bertiga, tidak sang kakek.
   “Lihat ke sekelilingmu” perintah Haari kepada Aaron yang berada di belakangnya, tetapi matanya masih melihat ke dalam ruangan rumah itu.
   “Haari” Aaron bicara dengan nada datar.
   Haari membalikkan badannya dengan cepat, sehingga ia melihat Aaron membelakanginya, juga melihat ketiga orang tadi berada di depan Aaron.
  “DAR!” Tanpa pikir panjang Haari menarik pelatuknya, peluru panas dari senapan cantiknya mengenai salah satu kepala dari mereka yang berada di sebelah kiri Haari.
   Spontan setelah tembakan itu, ketiga orang tadi berubah menjadi sekumpulan kelelawar yang mengeluarkan suara ‘cittt-cittt-cittt”, terbang ke atas melalui gerakan melingkar-lingkar.
   “Kenapa kau diam saja?” tanya Haari, namun Aaron tidak menjawab, berdiri kaku tidak merubah posisinya sedikitpun.
  Haari berlari ke arah Aaron, memegang kedua bahu Aaron dengan sepasang tangannya yang besar itu, lalu membalikkan tubuh Aaron sehingga menghadap kepadanya, seketika raut wajah Haari berubah, keringat dingin mulai keluar dari keningnya.
  “Aaron...” bisiknya dengan suara yang terputus-putus, ketika ia melihat Aaron menatap kosong ke depan, tetapi bukan menatapnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar