sumber : http://8020.photos.jpgmag.com/3110571_221860_32c9667cb4_p.jpg |
Akhirnya mereka bertiga sampai kerumah
sebelum malam tiba, dua kuda yang baru saja menjadi milik mereka itu terbukti
memang sangat baik, terlebih punya sang kakek.
“Taruh saja kuda ini dibelakang rumah ku”
kata sang kakek sambil mengarahkan kudanya menuju ke belakang rumahnya lewat kiri
dari luar rumahnya.
“Belakang?” tanya Aaron, lalu Haari
menunggangi kuda itu mengikuti sang kakek.
Setibanya di belakang rumah sang kakek,
Aaron dan Haari kaget bukan kepalang, ternyata terdapat halaman yang sangat
luas berada di belakang rumah tua itu, luasnya sama dengan lapangan bola,
mereka berdua tidak pernah tau, karena sang kakek tidak pernah ke belakang
rumahnya, dan mereka pun tidak pernah penasaran dengan belakang rumah itu, di
ruangan belakang rumah sang kakek memang terdapat jendela, namun kacanya
terlalu suram sehingga tidak bisa melihat apa yang ada di luar, lagipula, kaca
itu sering ditutup oleh tirai berwarna coklat.
“Kau tidak pernah mengatakannya kepada kami”
kata Aaron.
“Aku juga hampir tidak pernah kesini,
seingatku hanya sekali ketika aku baru saja menemukan rumah ini” jawab sang
kakek yang kemudian turun dari kudanya, menariknya sampai di sebuah pohon
besar, lalu mengikatnya disana, hanya ada 4 pohon disana, sisanya padang
rumput, persis sekali seperti lapangan bola, entah apa yang sebelumnya pernah
terjadi di tempat itu.
“Wah wah ini bisa kita jadikan sebuah kota,
atau tempat pertahanan, barangkali kita bisa membuat tempat pertahanan paling
kuat di dunia ini” kata Haari, lalu bersama Aaron ia turun dari kuda hitam itu,
menariknya ke pohon yang satu lagi disebelah kuda sang kakek, lalu mengikatnya
disana.
“Aku juga baru 4 bulan disini, kita bisa
memikirkan apa nanti yang akan kita buat di tempat ini” jawab sang kakek yang
kemudian pergi ke arah depan rumahnya, begitu pula Aaron dan Haari.
“Jadi malam ini kau tidak ke pasar?” tanya
sang kakek ketika sudah berada di depan rumahnya.
“Tidak, aku akan lebih fokus untuk membangun
beberapa rumah pohon lagi untuk disewakan” jawab Haari.
Si
kakek hanya mengangguk-ngangguk sambil masuk ke dalam rumahnya.
“Dimana kau akan mencari kayu lagi?” tanya
Aaron.
“Ya mungkin di danau itu lagi” jawab Haari
sambil berjalan ke rumah pohon.
Akhirnya malam pun tiba, cahaya bulan
pertanda bahwa para monster-monster malam siap melakukan aktifitasnya, Haari
tidak berjualan ke pasar, sebaliknya, ia dan Aaron bersantai untuk menikmati
malam di depan pintu rumah pohon itu.
“Kenapa pintunya ditutup?” tanya Aaron
sambil melihat ke arah pintu rumah sang kakek yang tertutup, lampu dalamnya
hidup terlihat dari jendelanya.
“Mungkin dia sedang mengerjakan sesuatu”
jawab Haari santai.
Aaron memiringkan kepalanya sedikit, seakan
berpikir sesuatu, “apakah sang kakek sudah tidur duluan? Tidak, lampunya masih
hidup” katanya.
“Aku tahu kalian membicarakan ku di atas
sana, nak!” teriak sang kakek dari dalam rumahnya.
Aaron menatap ke arah Haari, lalu menaikkan
kedua bahunya seakan tidak merasa bersalah.
“Badri itu seseorang yang, ya walaupun
dibilang sudah cukup tua untuk mati,dia masih menyimpan banyak rahasia” Haari
mengatakan hal itu kepada Aaron, perkataannya seperti hanya satu pola saja
ketika Aaron bertanya atau bercerita tentang sang kakek.
Aaron mengenyitkan dahinya, lalu
menggelengkan kepalanya sekali, setelah itu kembali menatap langit.
“Apakah kau mendengarnya?” tanya Haari
dengan suara yang pelan, seakan sedang menceritakan kisah horror kepada anak
kecil.
“Mendengarkan apa? Apa maksudmu?” Aaron
bertanya balik.
Setelah itu mereka berdua diam, berfokus
pada pendengaran mereka,
“WUFF WUFF, WUFF WUFF” terdengar suara
seperti entelodon yang sedang mengendus-ngendus bangkai dari bawah rumah pohon
itu.
“Ssst”
Haari mengacungkan jari telunjuknya, menyuruh agar Aaron tidak berbicara.
Mereka lalu masuk ke dalam rumah pohon itu
dengan cepat, “biar aku yang intip” kata Haari sambil mengeluarkan kepalanya
secara perlahan-lahan ke luar rumah pohon itu sambil melihat apa yang ada di
bawahnya.
“Senjataku, ambil senjataku” bisik Haari
sambil ia mengulurkan tangannya kepada Aaron.
Aaron langsung mencari senapan di dalam tas
Haari, agak lama ia mencarinya sehingga Haaripun masuk ke dalam rumah itu untuk
mencari sendiri.
“Ada apa?” tanya Aaron pelan.
Tiga orang dalam kegelapan berada di bawah
rumah pohon itu, Haari sudah tidak tahan dengan senapannya, ingin mengeluarkan
sebuah peluru panas untuk mendarat di kepala tiga orang itu, alih-alih menarik
pelatuknya, ia lebih memilih memegang erat-erat benda yang biasa di
elus-elusnya itu, Haari mengintip sekali lagi, menajamkan pandangannya agar bisa melihat sejelas yang ia bisa, ketiga orang itu tidak membawa apapun, kecuali mantel yang mereka
kenakan, menutup tubuh mereka dari kepala sampai kaki, wajah mereka dibiarkan
tetap terbuka, sehingga mata mereka yang berwarna merah menyala itu keliatan
dari atas rumah itu.
“Siapa mereka sebenarnya?” Haari bertanya
lebih kepada dirinya alih-alih kepada Aaron.
Mereka bertiga berjalan ke depan pintu rumah
sang kakek, tampaknya tidak sadar bahwa ada makhluk bertubuh besar yang dari
tadi mengintai gerak-gerik mereka, Haari memasukkan kepalanya kembali, karena
mereka bertiga bisa melihat Haari jika saja mereka menoleh ke belakang.
“WUFF WUFF” Sekali lagi, terdengar suara
entelodon yang mengendus bangkai rusa betina yang mati bersama anaknya.
“Sedang apa mereka?” bisik Haari kepada
dirinya, tidak bisa melihat ke depan pintu.
“Jangan, aku belum pernah melihat mereka”
Haari menahan tubuh Aaron yang baru saja hendak merangkak menuju pintu.
Haari mengangkat tubuhnya sedikit, berusaha
untuk melihat mereka sebisa mungkin. Salah seorang dari mereka yang berada di
tengah, mengangkat kedua tangannya ke atas, Haari mengangkat tubuhnya lebih
tinggi lagi, kuku jari mereka seperti taring mngwa, Haari sudah siap dengan
senapannya, seolah jika mereka melakukan setidaknya lebih dari satu gerekan
lagi, pemburu bertubuh besar itu akan menghujamkan peluru panas di kepala
mereka masing-masing.
“Mereka...mereka” bisik Haari sambil menoleh
ke Aaron, yang menatapnya dengan wajah kaku seolah-olah sedang berusaha untuk
tenang meskipun hatinya penuh rasa cemas.
Haari berbalik, secepat ia berbalik secepat
itu ia segera berdiri dan bergerak cepat ke arah tangga, Aaron langsung
mengikutinya dengan gerakan yang hati-hati, ketika Haari sudah berada di bawah
Aaron baru tiba di ambang pintu, raut wajahnya kini berubah, meledakkan seluruh
rasa takut yang sedari tadi dipendamnya, ketika ia melihat, pintu rumah sang
kakek terbuka, sehingga cahaya dari dalam rumah tersebut menerangi beberapa
meter ke depan. Aaron segera menyusul Haari.
“Apa...yang terjadi, Haari?” Aaron
tertatih-tatih ketika ia berada di belakang Haari.
Haari tidak menjawab, secara perlahan ia
mendekat ke pintu rumah sang kakek, Aaron mengikutinya dari belakang.
“Kemana mereka?” Haari kaget ketika melihat
tidak ada seorang pun di dalam rumah tersebut, tidak mereka bertiga, tidak sang
kakek.
“Lihat ke sekelilingmu” perintah Haari
kepada Aaron yang berada di belakangnya, tetapi matanya masih melihat ke dalam
ruangan rumah itu.
“Haari” Aaron bicara dengan nada datar.
Haari membalikkan badannya dengan cepat,
sehingga ia melihat Aaron membelakanginya, juga melihat ketiga orang tadi
berada di depan Aaron.
“DAR!” Tanpa pikir panjang Haari menarik
pelatuknya, peluru panas dari senapan cantiknya mengenai salah satu kepala dari
mereka yang berada di sebelah kiri Haari.
Spontan setelah tembakan itu, ketiga orang
tadi berubah menjadi sekumpulan kelelawar yang mengeluarkan suara ‘cittt-cittt-cittt”,
terbang ke atas melalui gerakan melingkar-lingkar.
“Kenapa kau diam saja?” tanya Haari, namun
Aaron tidak menjawab, berdiri kaku tidak merubah posisinya sedikitpun.
Haari berlari ke arah Aaron, memegang kedua
bahu Aaron dengan sepasang tangannya yang besar itu, lalu membalikkan tubuh
Aaron sehingga menghadap kepadanya, seketika raut wajah Haari berubah, keringat
dingin mulai keluar dari keningnya.
“Aaron...” bisiknya dengan suara yang
terputus-putus, ketika ia melihat Aaron menatap kosong ke depan, tetapi bukan
menatapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar