Sabtu, 05 Desember 2015

Dunia Dalam Jurang 16


sumber : http://www.troop641orlando.org/Day1CampFire.jpg
“Sekarang masih pagi, jadi makhluk-makhluk berbahaya yang tinggal disekitaran sini belum aktif” kata sang kakek ke Haari sambil tetap memotong hasil buruannya itu.
“Lagi pula, aku juga ingin melihat bagaimana anak itu merespon jika ada sesuatu yang menyerangnya” lanjut sang kakek.
“Kalau aku lihat-lihat, kau dan Aaron mempunyai suatu hubungan” kata Haari yang juga sibuk memotong hasil buruan si kakek itu.
“Hubungan? Hubungan seperti apa maksudmu?” tanya sang kakek sambil tetap memotong-motong ikan yang cukup besar itu.
“Yaa mungkin hubungan jauh, yang jika saudara-saudaramu saling dikaitkan, akan bertemu dengan salah satu saudaranya” jawab Haari.
“Kau sebenarnya pemburu apa peramal?”tanya sang kakek sambil menggelengkan kepalanya, sambil tetap asik memotong sturgeon itu.
“Aku seorang pemburu, tapi aku kadang sering dapat pencerahan” jawab Haari yang berbicara sambil senyum melirik arah si kakek, menghentikan aktifitas memotongnya, si kakek hanya diam.
Haari pun kembali memotong-motong daging ikan itu, dan tidak ada lagi pembicaraan diantara mereka berdua setelah Haari bicara tadi,selang beberapa menit, datanglah Aaron dengan membawa setumpuk kayu yang tidak terlalu tebal di sebelah tangannya, sedangkan tangannya yang satu lagi menenteng senapan. Tubuhnya penuh keringat, pakaiannya basah dan sedikit kotor, sang kakek dan Haari hanya melihat sambil tersenyum ke Aaron, lalu Aaron pun meletakkan tumpukan kayu yang dibawanya itu di bawah pohon tempat mereka berteduh, lalu bersandar ke pohon itu, kepalanya mendongak ke atas dan matanya dipejamkan, nafasnya cepat-cepat seperti orang yang baru selesai kompetesi lari jarak 100m.
“Kau masih butuh waktu untuk memperkuat fisikmu, anak muda” kata sang kakek yang masih juga sibuk memotong-motong hasil buruannya itu.
Sementara Aaron hanya diam tidak menanggapi sang kakek, yang dia lakukan hanyalah bersandar di pohon itu sambil mengatur nafasnya,setelah cukup lama memotong-motong, akhirnya memisah-misahkan bagian dari ikan sturgeon itu, lalu kulit-kulit itu di taruh di atas tikar kulit yang dari tadi sudah mereka siapkan, Haari pun mengambil kayu yang berada disamping Aaron yang sedang beristirahat di bawah pohon itu, lalu menaruhnya di depan sang kakek, setelah itu ia mengeluarkan dua buah batu yang lumayan besar, kemudian dia membenturkan batu itu satu sama lain berkali-kali diatas tumpukan kayu itu, setelah benturang yang kesekian kali, terciptalah api yang kemudian membakar tumpukan kayu yang berada di bawahnya.
“Saatnya makan!” kata Haari yang mengambil satu potongan kulit sturgeon dengan senapannya yang ujung dari senapan itu di ikat sebuah pisau, lalu mengarahkannya diatas api yang sudah membakar tumpukan kayu itu.
“Nak, kau tidak mau?” tanya sang kakek yang juga menusuk potongan kulit sturgeon itu dengan goloknya, lalu mengangkat potongan itu dan mengarahkannya ke atas bara api.
Aaron tiba-tiba berdiri, lalu berjalan ke tempat Haari dan kakek yang sedang asik membakar kulit sturgeon di atas bara api.
“Kau mau, nak?” tanya sang kakek yang sedang membakar sambil menoleh ke arah Aaron.
“Tentu aku mau, aku lapar” jawab Aaron yang kemudian duduk di samping Haari.
“Ini, pakai ini” kata Haari sambil memberikan sebuat pisau ke Aaron, kemudian Aaronpun mengambilnya dan menusuk salah satu diantara potongan daging sturgeon yang ukurannya besar-besar itu, lalu mengarahkannya ke atas bara api.
Hari sudah hampir siang, waktu sudah menunjukkan pukul 11 pagi, mereka bertiga asik memakan daging-daging sturgeon dibawah pohon yang rindang di tepi danau itu,belum ada monster yang terlihat di permukaan danau maupun disekelilingnya, daging yang mereka makan cukup besar dan banyak, jadi memakan waktu hampir 1 jam untuk menghabiskan semuanya, mereka bertiga tampak lahap memakan daging hasil buruan sang kakek itu, masing-masing sudah membawa minuman dari rumah saat mempersiapkan perlengkapan tadi, jadi tidak perlu lagi mereka merebus air untuk minum.
Setelah hampir satu jam mereka makan di tepi danau itu, kini Aaron, sang kakek, dan Haari membersihkan sisa-sisa tulang bekas mereka makan, lalu mereka bertiga pun sibuk mengemas barangnya masing-masing.
“Setelah ini kita akan pergi ke arah utara” kata sang kakek yang baru saja selesai mengemas barang-barangnya dan mulai menyandang ransel besar yang ia bawa dari rumahnya tadi.
“Emang kita akan pergi kemana?” Tanya Aaron yang juga baru selesai mengemas dan baru berdiri menyandang ranselnya.
“Kau bilang ke utara? Apa kau tidak takut dengan apa yang terjadi pada Aaron nanti?” tanya Aaron yang sedang jongkok masih sibuk mengemas-ngemas barangnya.
Mendengar itu Aaron pun mengenyitkan dahinya, seperti merasa tertantang oleh ucapan Haari yang barusan, sang kakek hanya diam sambil mengecek-ngecek senapannya, selang beberapa saat, Haari pun berdiri dan telah selesai mengemas barangnya, dengan tetap menenteng senapan andalannya yang penuh dengan bagian-bagian tubuh dari makhluk hidup itu.
“Ayo kita berangkat, tetap awas dengan sekelilingmu” Kata kakek yang mulai melangkahkan kakinya berjalan menuju kearah utara.
Aaron dan Haaripun mengangguk, kemudian mengikuti si kakek berjalan dari belakang,mereka bertiga pun mulai berjalan kearah utara dari danau itu, sang kakek berjalan didepan, sedangkan Haari dan Aaron mengikutinya di belakang. Matahari sudah semakin naik sehingga hampir di titik batas naiknya, sehingga cuaca yang mulai memanaspun tidak terhindarkan lagi, namun hal itu tidak membuat langkah ketiga orang yang berjalan ke utara itu goyah, walaupun menyandang ransel yang cukup berat. Tidak ada alasan bagi seorang pemburu untuk berhenti di tengah jalan, kecuali kematian dan prediksi kematian yang sudah diperhitungkan, mereka memegang motto ‘vini vidi vici’ yang dikutip dari seorang kaisar romawi, Julius Caesar, yang berarti ‘aku datang, aku melihat, aku menaklukkan’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar