Haari kini mulai kalut, kebingungan dengan
pertanyaan mengapa Aaron seperti ini, siapa ketiga orang tadi, dan dimana sang
kakek, semuanya berlomba-lomba dalam pikirannya untuk di jawab terlebih dahulu,
Haari, yang masih memegang pundak Aaron, melihat dari kiri ke kanan, lalu
sebaliknya, secara perlahan-lahan, seakan bertanya sekaligus mencari tahu, ‘apa
lagi setelah ini?’ gumamnya dalam hati.
“Aaron! Bicaralah, kenapa denganmu!” Haari
menggoyang-goyang badan Aaron, seakan sedang mengeluarkan sisa recehan dalam
celengan ayam.
Aaron masih menatap kosong ke depan, lalu
perlahan-lahan ia memegang tangan Haari yang masih menempel di pundaknya.
“Apa...apa yang, mereka..lakukan?” kata
Aaron, perlahan-lahan tatapannya yang kosong kini kembali ‘hidup’.
“Aku tidak tahu, ayolah nak” Haari melepas
tangannya perlahan-lahan dari pundak Aaron.
“Sang kakek tidak ada” lanjut Haari.
Aaron tampaknya mulai sadar, lalu memejamkan
matanya dengan kuat, membukanya kembali, lalu memejamkannya, membukanya
kembali.
Tiba-tiba terdengar langkah sepatu kulit
yang berjalan di atas rumput, datang dari gang kecil di sebelah kanan rumah
sang kakek yang menghubungkannya ke tempat mereka mengikat kuda.
“Kau..darimana?” tanya Aaron kepada yang
ternyata adalah sang kakek, nadanya sedikit marah.
“Aku tidur di dekat kuda baruku” jawab sang
kakek, lalu tersenyum lebar ke arah mereka, senyumannya lebih mencurigakan dari
semua yang telah terjadi, lalu ia berjalan melintasi mereka berdua menuju ke
dalam rumahnya.
Mereka hanya memandangi sang kakek yang
berjalan masuk kedalam rumahnya, lalu menutup pintu, lampu dalamnya tetap
menyala, mereka berdua masih bingung, saling melihat satu sama lain, lalu
melihat lagi ke pintu yang sudah tertutup itu.
Haari sebenarnya sedikit sudah tau tentang
si kakek, tetapi yang ini benar-benar membuatnya bingung, ‘apakah si kakek..ah’
pikiran Haari, ‘tidak mungkin, tidak mungkin’ suara-suara berbicara dalam
kepalanya.
“Sudah jam berapa?” tanya Aaron.
Haari mengeluarkan jamnya dari kantong
celana, “sudah jam sembilan” jawabnya, lalu memasukkan jam itu kembali.
Haari berjalan ke gang di sebelah rumah sang
kakek, Aaron mengikut disampingnya,
“Mengapa ia lebih memilih tidur dengan
kudanya?” tanya Haari dalam hatinya.
Mereka pun tiba di belakang rumah sang
kakek, melihat kedua kuda yang baru saja di beli tadi sedang tegak, masih pada
posisinya, bergerak-gerak sedikit, setelah memastikan tidak ada sesuatu yang
aneh, mereka berdua kembali lagi ke depan.
“Aku sebenarnya menyangka bahwa tempat ini
aman, karena tidak ada makhluk-makhluk besar selama aku tinggal disini” kata Haari
kepada Aaron di sela-sela perjalanan.
“Lalu kau mengira mereka siapa? Mereka bukan
makhluk bertubuh besar” jawab Aaron yang berjalan disampingnya.
Mulut Haari terbuka sedikit, seakan ingin
mengatakan sesuatu, namun ia menutupnya kembali, tentu saja, ada yang tidak
ingin Haari katakan kepada Aaron.
“Kita ke pasar saja malam ini” kata Haari,
lalu berputar arah menuju ke belakang lagi, kepalanya menunduk seakan sedang
berpikir keras, jelas kali benar-benar ada sesuatu yang dirasa ganjil olehnya.
Aaron hanya melihatnya berjalan ke belakang,
mereka masih di gang itu, “Aku tunggu di depan” katanya.
Sambil berjalan, Aaron melihat sekali lagi
ke belakang, Haari sudah tidak tampak, lalu ia kembali berjalan.
“Mengapa kita ke pasar?Bukankah kau bilang
kau tidak akan berjualan malam ini?” tanya Aaron ketika Haari menghampirinya
yang sedang duduk di jenjang kecil rumah sang kakek, menunggangi kuda yang
hampir tidak keliatan di malam hari itu.
Haari tidak menjawab, Aaron lalu menaiki
kuda itu, duduk di belakang Haari.
“Nggiiik” si kuda bersuara ketika Haari
menarik kedua tali yang diikat dimulut kuda itu, lalu kuda itu berlari secepat
Macan melewati jalan yang sepanjang jalan itu di tumbuhi pohon-pohon
disisi-sisinya.
Kuda itu berlari sangat cepat, tubuh mereka
berdua terhentak-hentak oleh gerakan lari sang kuda itu, hanya membutuhkan
waktu kurang dari 5 menit untuk sampai di pasar.
“Kita cari saja segera pedang untukmu” kata
Haari, ia turun dari kuda itu, lalu menarik talinya, mengikuti Haari yang
membawanya menjelajahi pasar.
“Akhir-akhir ini tingkahmu aneh” kata Aaron
yang masih berada di atas kuda.
Haari tidak menghiraukannya, dia menghampiri
salah satu penjual yang menjual berbagai senjata, dari senapan yang tampaknya
sudah tidak bisa di pakai lagi, sampai sebilah pedang yang berkilau-kilau.
“Pilihlah” kata Haari sambil melihat ke
Aaron yang masih berada di atas kudanya.
Aaron turun, lalu memegang-megang beberapa
senjata yang tersedia di depan meja sang penjual, lalu ia mengangkat salah satu
pedang, yang bergagang kayu berwarna coklat kehitaman, terukir gambar-gambar,
yang tampaknya adalah gambar kepala kucing bertaring panjang, Aaron
membalik-balikkan pedang itu ke kiri dan ke kanan.
“Yang ini keliatan bagus” kata Aaron sambil
terus membalikkan pedang itu, seakan-akan mengerti tentang senjata, “persis
seperti yang ada dipikiranku” lanjutnya.
“Oke, berapa?” tanya Haari kepada sang
penjual sambil mengeluarkan dompet kulit dari kantongnya.
“3000 Rai” jawab penjual itu.
Haari menghitung-hitung lembaran kertas itu
di dalam dompetnya, Aaron tidak menyangka bahwa Haari mempunyai uang yang
sangat banyak, Haari bahkan tidak pernah mengeluarkan dompetnya, di depan
Aaron.
Setelah selesai membeli pedang itu, Haari
dan Aaron mengucapkan terima kasih kepada si penjual, Haari kemudian menarik
kuda itu, tampaknya ia ingin membeli sesuatu lagi, Aaron mengikutinya sambil
mengayun-ngayunkan pedang barunya ke udara, tampaknya ia senang sekali.
“Hmm, tapi aku butuh tali yang kuat” kata
Aaron.
“Buat apa?” jawab Haari cuek sambil tetap
menarik kuda hitam itu, melihat-lihat para penjual di pasar itu, mencari sampai
dia menemukan satu yang pas dengan tujuannya.
“Jika aku melempar pedang ini ke seekor
monster, aku harus berlari ke arahnya untuk mendapatkan pedangku kembali” jawab
Aaron, lalu ia melanjutkan “Tetapi jika pedang ini diikat dengan sesuatu yang
kuat, cukup saja tidak cukup, harus sangat kuat, aku bisa menarik kembali
pedang ini ketika aku melemparnya”.
Haari melihat ke arahnya, ia takjub walaupun
wajahnya berusaha menyembunyikan hal itu, “Bagus juga, oke kita cari” katanya.
Merekapun berjalan mengelilingi pasar itu,
sambil tetap menarik kuda hitam yang sebenarnya tidak kelihatan jika ada orang
tua melihat ke arah mereka, berjalan dari satu kios ke kios lain, setelah
berjalan lebih dari 7 kios, tiba-tiba ada suara yang tampaknya memanggil
mereka.
“Hey, Hey, Aaron!” teriak penjual itu,
kiosnya terletak 4 kios dari posisi Aaron dan Haari sekarang.
Mereka pun berusaha mengenali penjual itu
dari jauh, terutama Aaron, akhirnya merekapun berjalan ke arahnya.
“Praba...wa?” tanya Aaron ragu ketika mereka
tiba di kios penjual itu.
“Iya, ini aku, aku baru sampai ke daerah ini
tadi sore, setelah malam ropen melintas itu, aku pergi keluar kota selama
beberapa minggu” katanya.
“Prabawa, aku ingin..” Haari belum sempat
menyelesaikan kata-katanya.
“Diam dulu kau, makhluk besar!” Prabawa
melihat ke arah Haari, lalu kembali mengarahkan wajahnya ke Aaron, “Apa yang
kau cari?” tanyanya.
“Sebuah tali yang panjang, hmm, yang
pastinya kuat, minimal masih kuat ketika aku menarik seekor ropen” jawabnya.
Prabawa jongkok sebentar, mencari sesuatu di
bawah meja jualannya, lalu berdiri kembali sambil memegang sebuah tali berwarna
coklat, sudah lama dipakai sepertinya, dan keliatannya adalah, tali tambang.
“Ini adalah tali yang sangat kuat, kau bisa
mengambilnya, ini hmmm, 20 meter, ya 20 meter” kata Prabawa sambil mencari
ujung tali yang satunya ketika tangan kanannya memegang salah satu ujung tali
tersebut.
Sekarang Aaron punya tali untuk senjata
barunya, sementara Haari sedang melakukan transaksi sambil mengobrol-ngobrol
dengan Prabawa, Aaron pergi ke balik kuda sehingga Haari tidak bisa melihat
wajahnya, menyimpan pedangnya di sarung yang diberikan secara gratis oleh
penjualnya, lalu melihat-lihat tali itu seperti meneliti apakah talinya cukup
kuat, dirabanya tali itu dengan perasaan.
“Biar aku yang simpan itu, ron” kata Haari
menghampiri Aaron yang berada dibalik kuda.
Haari lalu meletakkan tali itu di dalam
kantongnya, sudah jelas kantong Haari lebih besar dari punyanya Aaron.
“Oke terima kasih Prabawa, kita bertemu lain
waktu, aku akan jarang-jarang kesini” kata Haari sambil melambaikan tangan ke
arah Prabawa, lalu menaiki kuda yang hampir tidak terlihat itu, begitu juga
dengan Aaron yang mengambil posisi dibelakangnya.
“Tidak apa-apa, senang bertemu denganmu
Haari, Aaron” jawabnya sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah mereka yang
telah bergerak menjauhi kiosnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam,
tetapi tidak seperti pergi ke pasar itu, Haari mengatur kuda hitam itu agar
berjalan lebih pelan, Aaron yang berada di belakangnya dari tadi memain-mainkan
pedang barunya, mengayunkannya ke kanan ke kiri, ke atas dan kebawah, ke segala
arah, berkhayal seolah-olah ia sedang bertarung dengan seekor monster.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar