Jumat, 11 Desember 2015

Dunia Dalam Jurang 26



   Haari kini mulai kalut, kebingungan dengan pertanyaan mengapa Aaron seperti ini, siapa ketiga orang tadi, dan dimana sang kakek, semuanya berlomba-lomba dalam pikirannya untuk di jawab terlebih dahulu, Haari, yang masih memegang pundak Aaron, melihat dari kiri ke kanan, lalu sebaliknya, secara perlahan-lahan, seakan bertanya sekaligus mencari tahu, ‘apa lagi setelah ini?’ gumamnya dalam hati.
   “Aaron! Bicaralah, kenapa denganmu!” Haari menggoyang-goyang badan Aaron, seakan sedang mengeluarkan sisa recehan dalam celengan ayam.
   Aaron masih menatap kosong ke depan, lalu perlahan-lahan ia memegang tangan Haari yang masih menempel di pundaknya.
   “Apa...apa yang, mereka..lakukan?” kata Aaron, perlahan-lahan tatapannya yang kosong kini kembali ‘hidup’.
   “Aku tidak tahu, ayolah nak” Haari melepas tangannya perlahan-lahan dari pundak Aaron.
   “Sang kakek tidak ada” lanjut Haari.
   Aaron tampaknya mulai sadar, lalu memejamkan matanya dengan kuat, membukanya kembali, lalu memejamkannya, membukanya kembali.
   Tiba-tiba terdengar langkah sepatu kulit yang berjalan di atas rumput, datang dari gang kecil di sebelah kanan rumah sang kakek yang menghubungkannya ke tempat mereka mengikat kuda.
   “Kau..darimana?” tanya Aaron kepada yang ternyata adalah sang kakek, nadanya sedikit marah.
   “Aku tidur di dekat kuda baruku” jawab sang kakek, lalu tersenyum lebar ke arah mereka, senyumannya lebih mencurigakan dari semua yang telah terjadi, lalu ia berjalan melintasi mereka berdua menuju ke dalam rumahnya.
   Mereka hanya memandangi sang kakek yang berjalan masuk kedalam rumahnya, lalu menutup pintu, lampu dalamnya tetap menyala, mereka berdua masih bingung, saling melihat satu sama lain, lalu melihat lagi ke pintu yang sudah tertutup itu.
   Haari sebenarnya sedikit sudah tau tentang si kakek, tetapi yang ini benar-benar membuatnya bingung, ‘apakah si kakek..ah’ pikiran Haari, ‘tidak mungkin, tidak mungkin’ suara-suara berbicara dalam kepalanya.
   “Sudah jam berapa?” tanya Aaron.
   Haari mengeluarkan jamnya dari kantong celana, “sudah jam sembilan” jawabnya, lalu memasukkan jam itu kembali.
   Haari berjalan ke gang di sebelah rumah sang kakek, Aaron mengikut disampingnya,
   “Mengapa ia lebih memilih tidur dengan kudanya?” tanya Haari dalam hatinya.
   Mereka pun tiba di belakang rumah sang kakek, melihat kedua kuda yang baru saja di beli tadi sedang tegak, masih pada posisinya, bergerak-gerak sedikit, setelah memastikan tidak ada sesuatu yang aneh, mereka berdua kembali lagi ke depan.
   “Aku sebenarnya menyangka bahwa tempat ini aman, karena tidak ada makhluk-makhluk besar selama aku tinggal disini” kata Haari kepada Aaron di sela-sela perjalanan.
   “Lalu kau mengira mereka siapa? Mereka bukan makhluk bertubuh besar” jawab Aaron yang berjalan disampingnya.
   Mulut Haari terbuka sedikit, seakan ingin mengatakan sesuatu, namun ia menutupnya kembali, tentu saja, ada yang tidak ingin Haari katakan kepada Aaron.
   “Kita ke pasar saja malam ini” kata Haari, lalu berputar arah menuju ke belakang lagi, kepalanya menunduk seakan sedang berpikir keras, jelas kali benar-benar ada sesuatu yang dirasa ganjil olehnya.
   Aaron hanya melihatnya berjalan ke belakang, mereka masih di gang itu, “Aku tunggu di depan” katanya.
   Sambil berjalan, Aaron melihat sekali lagi ke belakang, Haari sudah tidak tampak, lalu ia kembali berjalan.

   “Mengapa kita ke pasar?Bukankah kau bilang kau tidak akan berjualan malam ini?” tanya Aaron ketika Haari menghampirinya yang sedang duduk di jenjang kecil rumah sang kakek, menunggangi kuda yang hampir tidak keliatan di malam hari itu.
   Haari tidak menjawab, Aaron lalu menaiki kuda itu, duduk di belakang Haari.
   “Nggiiik” si kuda bersuara ketika Haari menarik kedua tali yang diikat dimulut kuda itu, lalu kuda itu berlari secepat Macan melewati jalan yang sepanjang jalan itu di tumbuhi pohon-pohon disisi-sisinya.
   Kuda itu berlari sangat cepat, tubuh mereka berdua terhentak-hentak oleh gerakan lari sang kuda itu, hanya membutuhkan waktu kurang dari 5 menit untuk sampai di pasar.
   “Kita cari saja segera pedang untukmu” kata Haari, ia turun dari kuda itu, lalu menarik talinya, mengikuti Haari yang membawanya menjelajahi pasar.
   “Akhir-akhir ini tingkahmu aneh” kata Aaron yang masih berada di atas kuda.
   Haari tidak menghiraukannya, dia menghampiri salah satu penjual yang menjual berbagai senjata, dari senapan yang tampaknya sudah tidak bisa di pakai lagi, sampai sebilah pedang yang berkilau-kilau.
   “Pilihlah” kata Haari sambil melihat ke Aaron yang masih berada di atas kudanya.
   Aaron turun, lalu memegang-megang beberapa senjata yang tersedia di depan meja sang penjual, lalu ia mengangkat salah satu pedang, yang bergagang kayu berwarna coklat kehitaman, terukir gambar-gambar, yang tampaknya adalah gambar kepala kucing bertaring panjang, Aaron membalik-balikkan pedang itu ke kiri dan ke kanan.
   “Yang ini keliatan bagus” kata Aaron sambil terus membalikkan pedang itu, seakan-akan mengerti tentang senjata, “persis seperti yang ada dipikiranku” lanjutnya.
   “Oke, berapa?” tanya Haari kepada sang penjual sambil mengeluarkan dompet kulit dari kantongnya.
   “3000 Rai” jawab penjual itu.
   Haari menghitung-hitung lembaran kertas itu di dalam dompetnya, Aaron tidak menyangka bahwa Haari mempunyai uang yang sangat banyak, Haari bahkan tidak pernah mengeluarkan dompetnya, di depan Aaron.
   Setelah selesai membeli pedang itu, Haari dan Aaron mengucapkan terima kasih kepada si penjual, Haari kemudian menarik kuda itu, tampaknya ia ingin membeli sesuatu lagi, Aaron mengikutinya sambil mengayun-ngayunkan pedang barunya ke udara, tampaknya ia senang sekali.
   “Hmm, tapi aku butuh tali yang kuat” kata Aaron.
   “Buat apa?” jawab Haari cuek sambil tetap menarik kuda hitam itu, melihat-lihat para penjual di pasar itu, mencari sampai dia menemukan satu yang pas dengan tujuannya.
   “Jika aku melempar pedang ini ke seekor monster, aku harus berlari ke arahnya untuk mendapatkan pedangku kembali” jawab Aaron, lalu ia melanjutkan “Tetapi jika pedang ini diikat dengan sesuatu yang kuat, cukup saja tidak cukup, harus sangat kuat, aku bisa menarik kembali pedang ini ketika aku melemparnya”.
   Haari melihat ke arahnya, ia takjub walaupun wajahnya berusaha menyembunyikan hal itu, “Bagus juga, oke kita cari” katanya.
   Merekapun berjalan mengelilingi pasar itu, sambil tetap menarik kuda hitam yang sebenarnya tidak kelihatan jika ada orang tua melihat ke arah mereka, berjalan dari satu kios ke kios lain, setelah berjalan lebih dari 7 kios, tiba-tiba ada suara yang tampaknya memanggil mereka.
  “Hey, Hey, Aaron!” teriak penjual itu, kiosnya terletak 4 kios dari posisi Aaron dan Haari sekarang.
   Mereka pun berusaha mengenali penjual itu dari jauh, terutama Aaron, akhirnya merekapun berjalan ke arahnya.
  “Praba...wa?” tanya Aaron ragu ketika mereka tiba di kios penjual itu.
   “Iya, ini aku, aku baru sampai ke daerah ini tadi sore, setelah malam ropen melintas itu, aku pergi keluar kota selama beberapa minggu” katanya.
   “Prabawa, aku ingin..” Haari belum sempat menyelesaikan kata-katanya.
   “Diam dulu kau, makhluk besar!” Prabawa melihat ke arah Haari, lalu kembali mengarahkan wajahnya ke Aaron, “Apa yang kau cari?” tanyanya.
   “Sebuah tali yang panjang, hmm, yang pastinya kuat, minimal masih kuat ketika aku menarik seekor ropen” jawabnya.
   Prabawa jongkok sebentar, mencari sesuatu di bawah meja jualannya, lalu berdiri kembali sambil memegang sebuah tali berwarna coklat, sudah lama dipakai sepertinya, dan keliatannya adalah, tali tambang.
   “Ini adalah tali yang sangat kuat, kau bisa mengambilnya, ini hmmm, 20 meter, ya 20 meter” kata Prabawa sambil mencari ujung tali yang satunya ketika tangan kanannya memegang salah satu ujung tali tersebut.
   Sekarang Aaron punya tali untuk senjata barunya, sementara Haari sedang melakukan transaksi sambil mengobrol-ngobrol dengan Prabawa, Aaron pergi ke balik kuda sehingga Haari tidak bisa melihat wajahnya, menyimpan pedangnya di sarung yang diberikan secara gratis oleh penjualnya, lalu melihat-lihat tali itu seperti meneliti apakah talinya cukup kuat, dirabanya tali itu dengan perasaan.
   “Biar aku yang simpan itu, ron” kata Haari menghampiri Aaron yang berada dibalik kuda.
   Haari lalu meletakkan tali itu di dalam kantongnya, sudah jelas kantong Haari lebih besar dari punyanya Aaron.
   “Oke terima kasih Prabawa, kita bertemu lain waktu, aku akan jarang-jarang kesini” kata Haari sambil melambaikan tangan ke arah Prabawa, lalu menaiki kuda yang hampir tidak terlihat itu, begitu juga dengan Aaron yang mengambil posisi dibelakangnya.
   “Tidak apa-apa, senang bertemu denganmu Haari, Aaron” jawabnya sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah mereka yang telah bergerak menjauhi kiosnya.
   Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, tetapi tidak seperti pergi ke pasar itu, Haari mengatur kuda hitam itu agar berjalan lebih pelan, Aaron yang berada di belakangnya dari tadi memain-mainkan pedang barunya, mengayunkannya ke kanan ke kiri, ke atas dan kebawah, ke segala arah, berkhayal seolah-olah ia sedang bertarung dengan seekor monster.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar