Selasa, 08 Desember 2015

Dunia Dalam Jurang 24



 

sumber : http://cdn.adventuretravelnews.com/wp-content/uploads/2011/01/Tai-Chi-Shadows-image.jpg

    Sang kakek datang dari dalam rumahnya membawa dua cangkir teh hangat, menghampiri Aaron dan Haari yang sedang mengobrol-ngobrol di bawah rumah pohon mereka.
   “Kau tidak minum?” tanya Haari kepada sang kakek, sang kakek hanya menggelengkan kepalanya, lalu memberikan cangkir teh itu ke mereka berdua.
   “Kita butuh kuda, aku sudah malas berjalan-jalan, lebih enak naik kuda” kata sang kakek.
   “Dan aku butuh kayu lebih banyak, aku ingin membuat beberapa rumah pohon lagi untuk di sewakan, jadi bisa dapat uang ataupun barter yang menguntungkan, walaupun tidak pergi ke pasar” kata Haari sambil melihat ke arah pohon-pohon di samping rumah pohonnya, lalu menyeruput teh itu.
   Aaron menyeruput tehnya, namun diam-diam dia memerhatikan mata sang kakek yang sedang berbicara kepada Haari, seperti seolah-olah sedang mencari sesuatu dari matanya.
   “Dimana kita akan mencari kuda mu itu? Kuda-kuda di hutan Saruna sudah tinggal sedikit, banyak pemburu yang menangkap mereka untuk diperjual-belikan atau diternakkan” kata Haari.
   Sang kakek belum memberikan jawaban, mengelus-ngelus janggut putihnya yang hampir menyentuh tanah.
   “Oke baiklah, kali ini aku butuh bantuanmu, punyakah kau teman pemburu yang memiliki atau menjual kuda? Namun aku mau kuda-kuda terbaik” jawab sang kakek sambil menggaruk-garuk kepalanya seperti tidak ikhlas karena pada akhirnya harus bertanya, dia merasa bahwa dia lebih banyak tahu karena umurnya sudah jauh melebihi Haari.
   “Kau tidak perlu merasa menyesal, memang orang-orang pun bertanya kepada ku dimana tempat ternak kuda yang paling dekat dengan daerah ini” kata Haari, lalu menyeruput tehnya.
   “Nanti siang kita berangkat” sang kakek lalu berjalan ke arah rumahnya, sepertinya dia masih tidak ikhlas meminta bantuan kepada sang ‘penjual’ itu.

   “Kemana kita siang ini?” tanya Aaron yang baru saja menghabisi tehnya.
   “Kita akan pergi cukup jauh, aku berharap kita tidak akan menemui entelodon nanti” kata Haari yang masih menyeruput tehnya.
   “Ke gunung itu lagi?! Bagaimana kalau ternyata para entelodon itu sudah pindah habitat ke kaki gunung?” kata Aaron dengan nada yang sedikit cemas, namun ia berusaha menyembunyikan itu.
   “Sudah saatnya kau punya senjata sendiri” kata Haari sambil menaiki tangga rumah pohon itu.
   Aaron tidak memberi tanggapan setelah itu, dia hanya melihat Aaron menaiki tangga itu, kemudian dia pun ikut naik.
   “Jadi senjata apa yang kau sebenarnya suka? Jarak jauh atau jarak dekat?” Haari berbicara kepada Aaron dari dalam rumah ketika kepala Aaron baru terlihat di pintu rumah pohon itu.
   Aaron yang masih belum naik seluruh badannya menunduk sebentar, berpikir tentang pertanyaan Haari barusan.
   “Aku ingin senjata jarak dekat, aku sudah dapat gambarannya di kepala ku” katanya.
   “Hmm, baiklah, jadi kelompok kita punya seseorang yang ahli dalam bertarung jarak dekat” kata Haari lalu meletakkan cangkirnya yang sudah kosong di tempat biasa.
   Aaron belum juga naik, masih hanya kepala nya saja yang terlihat dari dalam rumah itu, “Tapi apakah kau bisa membuatnya agar persis seperti apa yang ada di kepalaku?” tanyanya.
   “Aku bisa membuat seperti apapun” jawab Haari sambil tersenyum lebar sampai giginya yang besar keliatan, dan itu mengerikan, Aaron pun segera masuk agar ia tak terjatuh karena melihat gigi Haari yang mengerikan itu.
  
   Kini jam menunjukkan tepat pukul 2 siang, matahari pun mulai semakin ‘membara’, tetapi panas itu tidak akan terasa oleh mereka yang berada di dalam rumah pohon yang sedang asik bersantai, karena panasnya terhalang oleh daun-daun di pohon itu, kecuali cahayanya, yang tetap masuk sedikit-sedikit membentuk seperti daun-daun yang bergabung.
   “Hey, sudah siapkah kalian?!” tanya sang kakek yang berteriak dari bawah.
   Mereka berdua langsung cepat-cepat mempersiapkan perlengkapan masing-masing, dari tadi asik bersantai di dalam rumah itu, terlena oleh sejuknya suasana di atas sana. Setelah selesai mereka pun turun satu persatu menuju ke tempat seorang pria tua yang baru saja berteriak tadi.
   “Kau kali ini yang pimpin jalan” kata sang kakek kepada Haari sambil mengulurkan tangannya ke arah depan, masih jelas dari wajahnya ia belum ikhlas.
   Aaron tampaknya melupakan kecurigaanya kepada sang kakek.
   “Kuda seperti apa yang kau inginkan kek?” tanya Aaron.
   “Yang jelas kuat, lincah, larinya cepat, dan punya daya tahan yang super” jawabnya.
   “Oke! Tapi tunggu sebentar, apa kau punya sesuatu untuk membayar kuda seperti kriteria yang baru saja kau katakan itu?” tanya Haari.
   “Kau bawa saja aku kesana” jawab sang kakek singkat.
   Haaripun tertawa keras lalu berjalan ke depan, Aaron dan sang kakek mengikutinya dari belakang, panas di siang itu belum terasa karena di depan rumah sang kakek terdapat banyak pohon-pohon tinggi besar, berjejer sepanjang jalan, persis seperti kebun.
sumber :www.pinterest.com

   Perjalanan yang menempuh jarak 10km itu akhirnya membawa mereka pada sebuah tempat dipenuhi padang rumput yang luas, suasananya sudah sedikit sejuk karena sudah sore, keliatannya tempat itu adalah tempat terbaik untuk orang yang ingin membeli kuda, seperti peternakan sapi yang berada di Swiss, dan disana banyak orang-orang yang keliatannya juga merupakan seorang pemburu, sibuk dengan kuda mereka di padang rumput itu, ada yang bermain-main dengannya, ada yang menungganginya, ada yang sedang membersihkannya, namun ada juga yang hanya duduk-duduk di sampingnya sambil sibuk dengan ransel mereka, tampaknya sedang mencari sesuatu.
   “Akhirnya sampai juga, untung kita tidak bertemu dengan entelodon ya” kata Aaron.
   Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, ia berjalan ke arah seseorang tidak memakai baju, dengan kalung bermata gigi yang tampaknya merupakan gigi ropen, celananya jeans dengan ikat pinggang kulit berwarna coklat, kulitnya kuning sawo matang, rambutnya coklat kekuning-kuningan, postur tubuhnya sangat bagus, persis seperti seorang atlet sepakbola, tingginya pun hampir setinggi Haari, dari tadi sibuk menyikat-nyikat kuda berwarna emas, yang terlihat sangat berbeda dengan puluhan kuda lainnya yang berada di ladang itu, yang mayoritas berwarna hitam, coklat, atau putih, walaupun ada juga yang berwarna sedikit kemerahan.
   “Lama tak berjumpa ya” kata Haari sambil menepuk pundak orang yang sedang asik menyikat kuda itu, orang itu terkejut karena baru menyadari ada orang di belakangnya.
   “Haari, hey kemana saja kau hahaha” kata pemuda itu, tampaknya sangat senang melihat Haari, pemuda itu merangkulnya kemudian mereka bercakap-cakap.
   Aaron dan sang kakek melihat satu sama lain, lalu sang kakek berjalan ke arah Haari, Aaron mengikutinya dari belakang.
   “Hey, ini dia, ini teman-teman ku” Haari berbicara kepada temannya itu ketika ia melihat Aaron dan sang kakek menghampirinya.
   “Aaron” kata Aaron sambil menjabat tangan pemuda itu, pemuda itu hanya tersenyum kepada Aaron, lalu segera melihat ke arah sang kakek.
   “Tunggu, kau tidak perlu memperkenalkan dirimu, Badri” kata teman Haari itu sambil menunjuk sang kakek.
   Sang kakek hanya melihatnya sebentar, lalu berjalan lebih dekat dengan kuda yang baru saja disikat oleh teman Haari itu, mengelilinginya sambil mengelus-ngelus tubuh kuda itu.
   “Teman-teman, ini Arda, dia adalah penunggang nomor satu disini” kata Haari yang sedang menghadap ke arah Aaron sambil merangkul pundak Arda dengan tangan kanannya.
   “Kau menjual kuda ini?” kata sang kakek yang berada dibalik kuda emas itu sehingga hanya kaki nya saja yang kelihatan.
   Arda segera menghampiri sang kakek, begitu juga dengan Haari dan Aaron, “Hmm, aku punya 3 kuda seperti ini, tapi bukan ini yang terbaik” katanya.
   Sang kakek meraba-raba badan kuda itu, seakan ingin merasakan otot-ototnya, “aku akan mengambil yang ini saja” katanya sambil menepuk badan kuda itu.
   Arda mengangguk-ngangguk sambil manggut, “Kau bisa membawanya dengan 10.000 rai” katanya sambil tersenyum ke arah sang kakek.
   Sang kakek membesarkan matanya sedikit, terkejut mendengar harga kuda itu, iapun segera membuka tas kecil yang selalu dibawanya itu, kemudian mengeluarkan sepuluh lembar kertas yang ukurannya sebesar kepalan tangan, berwarna merah tua pada tulisan angka, terletak pada sudut kiri bawah, kemudian latarnya berwarna cream, ditengah-tengahnya ada dua lingkaran yang bersatu sehingga membentu oval di tengah-tengahnya, bagian depan dan bagian belakang kertas ini sama persis.
   “Kau akan membayari hidupku minggu ini Haari” kata sang kakek sambil memberikan sepuluh lembar itu kepada Arda.
   Arda menerimanya sambil menghitung satu persatu lembaran kertas yang oleh orang-orang disebut rai.
   “Oke, kau bisa membawanya, tetapi” Arda belum selesai dengan kata-katanya, ia melihat-lihat ke sekeliling peternakan, “kau boleh ambil yang itu” katanya kepada Aaron sambil menunjuk seekor kuda hitam yang sedang berdiri di dekat pagar pembatas yang terbuat dari kayu.
   Aaron senang bukan main, dia melihat ke kuda itu lalu berlari ke arahnya, Haari dan Arda hanya tertawa melihat kelakuan anak muda itu, sedangkan sang kakek berusaha untuk menaiki kuda emas yang baru saja dibelinya.
   “Tidak pernah kulihat dia segembira itu” kata sang kakek yang sudah berada di atas kudanya.
   Arda dan Haari tidak menanggapi, mereka terus melihat Aaron yang sedang berlari ke arah kuda hitam itu.
   “Tarik talinya, tariiikk!” kata Arda dengan suara yang keras karena Aaron sedikit jauh dari mereka, ia melakukan gerakan seperti menarik agar Aaron mengerti ucapannya jika ia tidak mendengarnya.
   Aaron tampaknya mengerti, lalu ia segera menarik tali kulit yang di ikatkan sedemikian rupa di sekitar mulut kuda itu, lalu berjalan kembali ke arah mereka bertiga.
   “Itu gratis, aku senang melihatmu” kata Arda sambil tersenyum.
   Aaron menghampirinya, lalu menjabat tangan penjual kuda yang baik hati itu, “Terima kasih, terima kasih banyak, Arda” katanya, lalu merangkulnya.
   Arda hanya tersenyum ketika Aaron merangkulnya, “Jadilah pemburu yang hebat” katanya.
   Aaron mengangguk, senyumnya belum selesai, lalu ia mengacungkan jempol kepada Arda, seakan berkata ‘pasti’.
   “Keliatannya kami akan langsung pulang, terima kasih untuk semuanya Arda” kata Haari sambil menjabat tangan temannya itu, begitu juga dengan Aaron dan sang kakek yang juga menjabat tangan penjual yang baik itu.
   “Terima kasih juga sudah mau kesini, dimana tempat kalian tinggal? Aku juga ingin berkunjung sesekali kesana” kata Arda sambil memegang pundak Haari.
   “Tempat kami berada di timur dari pasar malam” jawab sang kakek yang kemudian naik di atas kudanya.
   Arda hanya mengangguk sambil tersenyum, tampaknya ia tahu dimana tempat tersebut.
   “Biar aku yang menunggangi kuda ini, kau dibelakang saja, nanti pas dirumah baru kuajarin cara menunggang kuda” kata Haari yang kemudian naik lebih dahulu ke atas kuda hitam itu.
   “Kami duluan ya” kata Haari kepada Arda, lalu mereka bertiga termasuk sang kakek melambaikan tangannya ke Arda sambil menunggangi kuda mereka meninggalkan tempat itu, Arda juga membalasnya dengan lambaian tangan, senyum nya terus terlihat di wajahnya yang tampan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar