sumber : http://cdn.adventuretravelnews.com/wp-content/uploads/2011/01/Tai-Chi-Shadows-image.jpg |
Sang kakek datang dari dalam rumahnya
membawa dua cangkir teh hangat, menghampiri Aaron dan Haari yang sedang
mengobrol-ngobrol di bawah rumah pohon mereka.
“Kau tidak minum?” tanya Haari kepada sang
kakek, sang kakek hanya menggelengkan kepalanya, lalu memberikan cangkir teh
itu ke mereka berdua.
“Kita butuh kuda, aku sudah malas
berjalan-jalan, lebih enak naik kuda” kata sang kakek.
“Dan aku butuh kayu lebih banyak, aku ingin
membuat beberapa rumah pohon lagi untuk di sewakan, jadi bisa dapat uang
ataupun barter yang menguntungkan, walaupun tidak pergi ke pasar” kata Haari
sambil melihat ke arah pohon-pohon di samping rumah pohonnya, lalu menyeruput
teh itu.
Aaron menyeruput tehnya, namun diam-diam dia
memerhatikan mata sang kakek yang sedang berbicara kepada Haari, seperti
seolah-olah sedang mencari sesuatu dari matanya.
“Dimana kita akan mencari kuda mu itu?
Kuda-kuda di hutan Saruna sudah tinggal sedikit, banyak pemburu yang menangkap
mereka untuk diperjual-belikan atau diternakkan” kata Haari.
Sang kakek belum memberikan jawaban,
mengelus-ngelus janggut putihnya yang hampir menyentuh tanah.
“Oke baiklah, kali ini aku butuh bantuanmu,
punyakah kau teman pemburu yang memiliki atau menjual kuda? Namun aku mau
kuda-kuda terbaik” jawab sang kakek sambil menggaruk-garuk kepalanya seperti
tidak ikhlas karena pada akhirnya harus bertanya, dia merasa bahwa dia lebih
banyak tahu karena umurnya sudah jauh melebihi Haari.
“Kau tidak perlu merasa menyesal, memang
orang-orang pun bertanya kepada ku dimana tempat ternak kuda yang paling dekat
dengan daerah ini” kata Haari, lalu menyeruput tehnya.
“Nanti siang kita berangkat” sang kakek lalu
berjalan ke arah rumahnya, sepertinya dia masih tidak ikhlas meminta bantuan
kepada sang ‘penjual’ itu.
“Kemana kita siang ini?” tanya Aaron yang
baru saja menghabisi tehnya.
“Kita akan pergi cukup jauh, aku berharap
kita tidak akan menemui entelodon nanti” kata Haari yang masih menyeruput
tehnya.
“Ke gunung itu lagi?! Bagaimana kalau
ternyata para entelodon itu sudah pindah habitat ke kaki gunung?” kata Aaron
dengan nada yang sedikit cemas, namun ia berusaha menyembunyikan itu.
“Sudah saatnya kau punya senjata sendiri”
kata Haari sambil menaiki tangga rumah pohon itu.
Aaron tidak memberi tanggapan setelah itu,
dia hanya melihat Aaron menaiki tangga itu, kemudian dia pun ikut naik.
“Jadi senjata apa yang kau sebenarnya suka?
Jarak jauh atau jarak dekat?” Haari berbicara kepada Aaron dari dalam rumah
ketika kepala Aaron baru terlihat di pintu rumah pohon itu.
Aaron yang masih belum naik seluruh badannya
menunduk sebentar, berpikir tentang pertanyaan Haari barusan.
“Aku ingin senjata jarak dekat, aku sudah
dapat gambarannya di kepala ku” katanya.
“Hmm, baiklah, jadi kelompok kita punya
seseorang yang ahli dalam bertarung jarak dekat” kata Haari lalu meletakkan
cangkirnya yang sudah kosong di tempat biasa.
Aaron belum juga naik, masih hanya kepala
nya saja yang terlihat dari dalam rumah itu, “Tapi apakah kau bisa membuatnya
agar persis seperti apa yang ada di kepalaku?” tanyanya.
“Aku bisa membuat seperti apapun” jawab
Haari sambil tersenyum lebar sampai giginya yang besar keliatan, dan itu
mengerikan, Aaron pun segera masuk agar ia tak terjatuh karena melihat gigi
Haari yang mengerikan itu.
Kini jam menunjukkan tepat pukul 2 siang, matahari
pun mulai semakin ‘membara’, tetapi panas itu tidak akan terasa oleh mereka
yang berada di dalam rumah pohon yang sedang asik bersantai, karena panasnya
terhalang oleh daun-daun di pohon itu, kecuali cahayanya, yang tetap masuk
sedikit-sedikit membentuk seperti daun-daun yang bergabung.
“Hey, sudah siapkah kalian?!” tanya sang
kakek yang berteriak dari bawah.
Mereka berdua langsung cepat-cepat
mempersiapkan perlengkapan masing-masing, dari tadi asik bersantai di dalam
rumah itu, terlena oleh sejuknya suasana di atas sana. Setelah selesai mereka
pun turun satu persatu menuju ke tempat seorang pria tua yang baru saja
berteriak tadi.
“Kau kali ini yang pimpin jalan” kata sang
kakek kepada Haari sambil mengulurkan tangannya ke arah depan, masih jelas dari
wajahnya ia belum ikhlas.
Aaron tampaknya melupakan kecurigaanya
kepada sang kakek.
“Kuda seperti apa yang kau inginkan kek?”
tanya Aaron.
“Yang jelas kuat, lincah, larinya cepat, dan
punya daya tahan yang super” jawabnya.
“Oke! Tapi tunggu sebentar, apa kau punya
sesuatu untuk membayar kuda seperti kriteria yang baru saja kau katakan itu?”
tanya Haari.
“Kau bawa saja aku kesana” jawab sang kakek
singkat.
Haaripun tertawa keras lalu berjalan ke
depan, Aaron dan sang kakek mengikutinya dari belakang, panas di siang itu
belum terasa karena di depan rumah sang kakek terdapat banyak pohon-pohon
tinggi besar, berjejer sepanjang jalan, persis seperti kebun.
sumber :www.pinterest.com |
Perjalanan yang menempuh jarak 10km itu
akhirnya membawa mereka pada sebuah tempat dipenuhi padang rumput yang luas,
suasananya sudah sedikit sejuk karena sudah sore, keliatannya tempat itu adalah
tempat terbaik untuk orang yang ingin membeli kuda, seperti peternakan sapi
yang berada di Swiss, dan disana banyak orang-orang yang keliatannya juga
merupakan seorang pemburu, sibuk dengan kuda mereka di padang rumput itu, ada
yang bermain-main dengannya, ada yang menungganginya, ada yang sedang
membersihkannya, namun ada juga yang hanya duduk-duduk di sampingnya sambil
sibuk dengan ransel mereka, tampaknya sedang mencari sesuatu.
“Akhirnya sampai juga, untung kita tidak
bertemu dengan entelodon ya” kata Aaron.
Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, ia
berjalan ke arah seseorang tidak memakai baju, dengan kalung bermata gigi yang
tampaknya merupakan gigi ropen, celananya jeans dengan ikat pinggang kulit
berwarna coklat, kulitnya kuning sawo matang, rambutnya coklat
kekuning-kuningan, postur tubuhnya sangat bagus, persis seperti seorang atlet
sepakbola, tingginya pun hampir setinggi Haari, dari tadi sibuk menyikat-nyikat
kuda berwarna emas, yang terlihat sangat berbeda dengan puluhan kuda lainnya
yang berada di ladang itu, yang mayoritas berwarna hitam, coklat, atau putih,
walaupun ada juga yang berwarna sedikit kemerahan.
“Lama tak berjumpa ya” kata Haari sambil
menepuk pundak orang yang sedang asik menyikat kuda itu, orang itu terkejut
karena baru menyadari ada orang di belakangnya.
“Haari, hey kemana saja kau hahaha” kata
pemuda itu, tampaknya sangat senang melihat Haari, pemuda itu merangkulnya
kemudian mereka bercakap-cakap.
Aaron dan sang kakek melihat satu sama lain,
lalu sang kakek berjalan ke arah Haari, Aaron mengikutinya dari belakang.
“Hey, ini dia, ini teman-teman ku” Haari
berbicara kepada temannya itu ketika ia melihat Aaron dan sang kakek
menghampirinya.
“Aaron” kata Aaron sambil menjabat tangan
pemuda itu, pemuda itu hanya tersenyum kepada Aaron, lalu segera melihat ke
arah sang kakek.
“Tunggu, kau tidak perlu memperkenalkan
dirimu, Badri” kata teman Haari itu sambil menunjuk sang kakek.
Sang kakek hanya melihatnya sebentar, lalu
berjalan lebih dekat dengan kuda yang baru saja disikat oleh teman Haari itu,
mengelilinginya sambil mengelus-ngelus tubuh kuda itu.
“Teman-teman, ini Arda, dia adalah
penunggang nomor satu disini” kata Haari yang sedang menghadap ke arah Aaron
sambil merangkul pundak Arda dengan tangan kanannya.
“Kau menjual kuda ini?” kata sang kakek yang
berada dibalik kuda emas itu sehingga hanya kaki nya saja yang kelihatan.
Arda segera menghampiri sang kakek, begitu
juga dengan Haari dan Aaron, “Hmm, aku punya 3 kuda seperti ini, tapi bukan ini
yang terbaik” katanya.
Sang kakek meraba-raba badan kuda itu,
seakan ingin merasakan otot-ototnya, “aku akan mengambil yang ini saja” katanya
sambil menepuk badan kuda itu.
Arda mengangguk-ngangguk sambil manggut,
“Kau bisa membawanya dengan 10.000 rai” katanya sambil tersenyum ke arah sang
kakek.
Sang kakek membesarkan matanya sedikit,
terkejut mendengar harga kuda itu, iapun segera membuka tas kecil yang selalu
dibawanya itu, kemudian mengeluarkan sepuluh lembar kertas yang ukurannya
sebesar kepalan tangan, berwarna merah tua pada tulisan angka, terletak pada
sudut kiri bawah, kemudian latarnya berwarna cream, ditengah-tengahnya ada dua
lingkaran yang bersatu sehingga membentu oval di tengah-tengahnya, bagian depan
dan bagian belakang kertas ini sama persis.
“Kau akan membayari hidupku minggu ini
Haari” kata sang kakek sambil memberikan sepuluh lembar itu kepada Arda.
Arda menerimanya sambil menghitung satu
persatu lembaran kertas yang oleh orang-orang disebut rai.
“Oke, kau bisa membawanya, tetapi” Arda
belum selesai dengan kata-katanya, ia melihat-lihat ke sekeliling peternakan,
“kau boleh ambil yang itu” katanya kepada Aaron sambil menunjuk seekor kuda
hitam yang sedang berdiri di dekat pagar pembatas yang terbuat dari kayu.
Aaron senang bukan main, dia melihat ke kuda
itu lalu berlari ke arahnya, Haari dan Arda hanya tertawa melihat kelakuan anak
muda itu, sedangkan sang kakek berusaha untuk menaiki kuda emas yang baru saja
dibelinya.
“Tidak pernah kulihat dia segembira itu”
kata sang kakek yang sudah berada di atas kudanya.
Arda dan Haari tidak menanggapi, mereka terus
melihat Aaron yang sedang berlari ke arah kuda hitam itu.
“Tarik talinya, tariiikk!” kata Arda dengan
suara yang keras karena Aaron sedikit jauh dari mereka, ia melakukan gerakan
seperti menarik agar Aaron mengerti ucapannya jika ia tidak mendengarnya.
Aaron tampaknya mengerti, lalu ia segera
menarik tali kulit yang di ikatkan sedemikian rupa di sekitar mulut kuda itu,
lalu berjalan kembali ke arah mereka bertiga.
“Itu gratis, aku senang melihatmu” kata Arda
sambil tersenyum.
Aaron menghampirinya, lalu menjabat tangan
penjual kuda yang baik hati itu, “Terima kasih, terima kasih banyak, Arda”
katanya, lalu merangkulnya.
Arda hanya tersenyum ketika Aaron
merangkulnya, “Jadilah pemburu yang hebat” katanya.
Aaron mengangguk, senyumnya belum selesai,
lalu ia mengacungkan jempol kepada Arda, seakan berkata ‘pasti’.
“Keliatannya kami akan langsung pulang, terima
kasih untuk semuanya Arda” kata Haari sambil menjabat tangan temannya itu,
begitu juga dengan Aaron dan sang kakek yang juga menjabat tangan penjual yang
baik itu.
“Terima kasih juga sudah mau kesini, dimana
tempat kalian tinggal? Aku juga ingin berkunjung sesekali kesana” kata Arda
sambil memegang pundak Haari.
“Tempat kami berada di timur dari pasar
malam” jawab sang kakek yang kemudian naik di atas kudanya.
Arda hanya mengangguk sambil tersenyum,
tampaknya ia tahu dimana tempat tersebut.
“Biar aku yang menunggangi kuda ini, kau
dibelakang saja, nanti pas dirumah baru kuajarin cara menunggang kuda” kata
Haari yang kemudian naik lebih dahulu ke atas kuda hitam itu.
“Kami duluan ya” kata Haari kepada Arda,
lalu mereka bertiga termasuk sang kakek melambaikan tangannya ke Arda sambil
menunggangi kuda mereka meninggalkan tempat itu, Arda juga membalasnya dengan
lambaian tangan, senyum nya terus terlihat di wajahnya yang tampan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar